Jumat, 26 Maret 2010

PUNDI HATI


Lagi-lagi aku mendengar percakapan seperti itu, dengan dialek seperti itu dan cara bicara seperti itu. Dasar… Uh…. Aku benci. Ku rasa hal itu sudah pergi jauh dari ku. Meninggalkan hari-hari yang tlah berlalu. Kenangan itu pahit bagiku. Saat-saat dimana aku hilangkan kendaliku. Ingin ku bungkus alveolus-alveolus hati ini, hingga tak ada sedikitpun selaput pleura yang robek.

Sepertinya pundi-pundi hati ini akan segera hancur. Berserakan bak kelereng. Bergulir kian kemari. Kutak mau, jika orang bisa bebas untuk memungut pundi itu. Karena pundi itu tak bisa dimiliki oleh sembarangan orang.

Saat ku jalan melangkah gontai. Kata-kata itu pun berusaha untuk mengerogoti pleura ku. Hatiku mulai berteriak sendiri, melawan kata itu. TIDAK…TIDAK… AKU BENCI… AKU BENCI… Aku benar-benar benci dengan semua itu. Maafkan aku. Sebenarnya, kata itu, percakapan itu, dialek itu, ucapan itu, membuatku membenci diriku sendiri. Mengungkit kenangan lama yang tak seharusnya kembali.

Aku berlagak tenang saat kata-kata itu ku dengar, saat percakapan itu ku dengar, saat dialek itu ku dengar. Padahal aku merasakan sakitnya, rasa bersalah yang sangat dan penyesalan yang sangat.

Kembali hayalanku melayang. Yang membuatku termenung sejenak dan mulai berpikir. Bahkan sampai berdebat sendiri dengan pikiranku. Dan tak urung pula, tanpa sadar kata-kata itu keluar dari mulut ku. Kata-kata penyesalan, ungkapan kekecewaanku.

Ku kira hal ini tlah berakhir padaku. Aku senang, aku tenang, aku tentram. Tapi aku salah, hal ini tidak akan pernah berakhir padaku, tidak juga pada mu dan pada semua insan di bumi ini. Mungkin dia akan hilang sebentar dan akan muncul lagi, hilang lagi dan muncul lagi. Apa yang harus ku lakukan, saat kemunculannya tiba-tiba. Ah, kemunculannya selalu tiba-tiba, bahkan sangat mendadak. Membuatku gamang dan tak tentu arah.

Akankah pundi-pundi hati ini akan bocor lagi? Ku harap tidak. Karena ku punya pengalaman yang kan ku jadikan pelajaran. Karena sebodoh-bodoh orang, dia tidak akan jatuh ke lubang yang sama. Tapi aku memang bodoh dalam hal ini. Kamu pun begitu. Bahkan semua orang. Semua orang akan terjatuh pada tempat yang sama karena hal ini.

Sekali lagi, aku BENCI. Tapi cukupkah dengan benci? TIDAK. Aku harus introspeksi diri. Kenapa? Karena aku manusia.

Aku BUKAN Boneka


Bocah kecil kehilangan mainan
Bertemu dengan mainan baru yang melekat di hati
Tangan kecilnya selalu mencengkram kuat mainan itu
Tak mau hal yang sama terjadi lagi pada mainannya

Dia hiraukan segalanya untuk menjaga mainan itu
Dia lakukan apa yang bisa ia perbuat, agar tetap bersama mainan itu
Ia peluk dan cium mainan itu
Dan meletakkannya di tempat yang paling dekat dengan dirinya

Hari-haripun berlalu cepat
Mainan itu selalu setia di sisinya
Sedih, duka, gembira, tak sedetik pun ia berhenti mengabdi
Tapi takdir tak selalu menyapa dengan senyum pada mainan itu

Kini, pada hari ulang tahunnya
Dia dapatkan mainan baru
Tergantikanlah sudah kedudukan si mainan lama
Sekarang ia terbuang atau memang sengaja dibuang

Kasihan nasibnya
Pengabdiannya selama bertahun-tahun ini
Tak bernilai lagi sekarang
Begitu mudahnya ia melupakan mainannya
Andaikan bisa mainan itu bicara
Ia akan berucap
“aku bukan BONEKA mu”

..RASA..


Entah apa rasa perasaanku saat ini
Rasa itu tak berujung, tak bertepi
Bukan rasa coklat atapun strawberry
Tapi rasa itulah yang ku rasakan saat ini

Entah apa rasa perasaanku saat ini
Bercampur gundah dan gelisah
Tapi senyum simpul mengembang manis di bibir ku
Palpitasi, keringat dingin dan tremor pun ikut menemani

Entah apa rasa perasaanku saat ini
Manis, asam, asin dan pahit tak cukup mewakili
Sepertinya butuh terminology baru yang sanggup atasi
Hingga perasaan itupun bisa dengan detail ku kabari

Rasa, merasa dan perasaan
Hal-hal abstrak yang berpengaruh nyata pada kehidupan
Aku ingin sekali berteriak dan melompat-lompat sekarang
Karena rasa itu mendorong ku pada hal itu
Aku ingin sekali meraung dan meratap-ratap sekarang
Karena perasaan tersakiti itu menyuruhku

Tapi, aku tak melakukan itu
Aku hanya diam terpaku
Duduk menyendiri di sudut ruangan pilu
Menatap orang lalu, satu per satu
Karena otak ku mengatakan seperti itu…

..MALAM..


Malam sudah semakin larut. Begitupun sebenarnya mata ini. Tapi aku heran, masih saya ia tetap terbuka. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh si otak. Sepertinya moto “Do less, Talk More” sedang bercangkol di diriku sekarang. Banyak sekali yang sedang ku pikirkan sekarang, tapi tubuhku hanya diam mematung sambil kembali mengulang-ulang pemikiran itu. ANEH… aku benar-benar merasa aneh saat ini. Benar-benar Do less. 10 menit terlewati, posisi ku masih seperti tadi. Berpikir dan masih berpikir. Kapan bertindaknya??? Mencatat dan terus mencatat. Kapan realisasinya???

Aku heran, kenapa aku sibuk sekali dengan pemikiranku? Kenapa aku terlalu memikirkan apa yang ku pikir? ANEH… aku hanya berpikir, mengatur strategi dan……. Akhirnya aku tertidur. Strategi tinggal strategi, realisasinya entah kapan kan terjadi…

Aku hanya tertawa kecut dalam hati. Pemikiranku agak sensitif akhir-akhir ini. Memoriku di awang-awang minggu-minggu ini. Kenapa? Aku pun tak tau jawabnya. Tuhan ku, tolong beri aku jawabannya… Aku menunggunya, karena aku butuh diri-Mu.

Rabu, 24 Maret 2010

Aku Cemburu...

Perasaan itu begitu menggebu-gebu.
Aku benar-benar cemburu.
Kenapa ini?
Apakah itu tanda tak mampu.
Yap kurasa begitu.

Sudah bertahun-tahun perasaan ini ku pendam.
Bukan tanpa usaha dan hanya berpangku tangan.
Aku mencari berita kian kemari.
Tapi, sepertinya hal itu belum berpihak pada ku.
Sekali lagi aku cemburu.


Mungkin hari ini lah puncak kecemburuan ku.
Beberapa hari lalu, bayangan itu terus menghantui ku.
Apalagi ditambah informasi yang telat ku tau.
Pantas kah aku cemburu?


Seharusnya TIDAK, tapi mungkin PANTAS saja menurut ku...
Karena rasa cemburu ini kan membuatku lebih kiat lagi untuk mencapai itu
Saat ku lihat foto-foto Asma Nadia di Eropa,
kecemburuanku membuncah sudah,
seperti gunung merapi yang meletus sangat dasyat.






Aku cemburu melihat mereka yang bisa menginjakkan kakinya di belahan dunia lain
dimana tempat yang hanya ku lihat di gambar-gambar, bahkan tak pernah sama sekali.
Akan kah kecemburuanku ini berakhir?
Dengan akhir yang menyenangkan.
Insyallah....... Jika Allah mengizinkan apa pun bisa terjadi.


Ini adalah salah satu mimpi ku yang kutulis di secarik kertas.
salah satu mimpi dari 61 mimpi yang kubuat.
Uh, aku baru bisa memikirkan 61 mimpi. Ha...ha... untuk bermimpi saja aku sudah limited, tapi tak apa yang penting semua yang ku impinkan terkabul. Amin ya Rabb........


Bagi yang tidak sadar, tapi tiba-tiba sudah duduk di depan layar dan membaca blog ku ini, nohon doanya ya semoga semua mimpi-mimpi ku akan terwujud, hingga ku dapat lanjutkan bermimpi sampai mimpi yang ke-1000.


Begitu pun dengan mu. Jangan takut untuk bermimpi besar. Karena kesuksesan besar itu awalnya hanyalah dari sebuah mimpi, mimpi yang besar. Pesawat muncul dari mimpi 2 orang bersaudara yang ingin terbang bebas seperti burung. Adanya Hp di tangan kita sekarang tidak lepas pula dari mimpi-mipi besar seorang ilmuan yang awal dianggap kemustahilan yang besar.


Tapi, sekarang aku masih CEMBURU....
Ku harap keCEMBURUAN ini tak begitu lama menghantui ku.
Karena suatu saat nanti, mungkin dalam waktu yang tak begitu lama lagi.
Photo-photo ku bersama mimpi ku kan terpajang disini, buka photo Asma Nadia lagi. Amin.....

…AKHIR…

Kata itu menghianati ku

Menari-nari dan ber-jingkrak-an di benak ku

Seakan ini suatu perasaan normal yang kan selalu bertemu

Saat hati ini kian meragu

 

Awan gelap di ufuk barat

Mewakili hatiku yang tersayat

Apakah waktu kan terus menjilat

Hingga kalbuku terpaku dan mendarat

 

Siang itu ku bercerita dengan gelap

Terheran bulan menyambut senja yang pengap

Aku pun tak sanggup agar jantung ini tidak berdegap

Karena hal itu akan lenyap

 

Seakan seluruh dunia memperhatikanku

Degan seribu kerut didahinya yang trus menderu

Berusaha alihkan pandangan itu

Tapi hatiku masih saja di situ

 

Akankah ini berakhir?

Ku mohon, carikan akhirnya untuk ku…

Senin, 22 Maret 2010

DEADLINE, 24 JAM


Tulilit…tulilit…

Tulilit…tulilit…

Hp yang tergeletak di atas meja belajarku berbunyi. Ya, itu tandanya sebuah sms telah mendarat di Hp ku. Dengan malas-malasan ku raih Hp tersebut dan hanya dalam hitungan detik Hp sudah berpindah ke dalam gengamanku.

Assalamu’alaikum. Iz, km lg sbuk g? Tlg buatin crpn utk Asy Syifaa edisi t’akhr dong…

Dengan semangat, aku balas sms dari Yuda tersebut. Yuda adalah pimred alias Pimpinan Redaksi Asy Syifaa yang merupakan media dakwah kampus dalam bentuk jurnalistik. Sedangkan aku alhamdulillah adalah anggotanya, yup… tepatnya bawahan Yuda ^_-. Menulis cerpen adalah hobiku, menulis puisi apalagi. Karena itu, tawaran dari Yuda langsung kusambut dengan riang gembira, he…he… ^_^.

Waalaikmslm. Iya, insyallah aku ngk sibuk. Untuk kapan Yud? Tema nya ttg apa?

Langsung kutekan tombol send, dan tak beberapa lama tulisan di Hp ku sudah berpindah ke Hp Yuda, tepat saat Hp di gengamanku berbunyi lagi.

Tulilit….tulilit…

Tulilit…tulilit…

Delivered to Yuda

Sambil membetulkan posisi dudukku, aku nggak sabar lagi menunggu balasan sms dari Yuda. Sebenarnya sih aku lagi nggak ada ide untuk buat cerpen tentang apa. Tapi mumpung lagi libur, apa salahnya kan ??? Nggak nyampe 1 menit, Hp ku berbunyi lagi.

Deadlinenya hr pertama kita kul Iz. Temanya terserah kamu aja. Bisakan?

Berarti itu masih 2 minggu lagi. Masih lama, batinku. Untuk menutup percakapan tertulis di Hp ini, kubalas sms Yuda dengan satu kata yang kurasa adalah kata yang diharapkan oleh Yuda.

Insyallah

Dan pesan pun terkirim tanpa ada balasan lagi dari Yuda. Tapi tunggu, beberapa menit kemudian Hp ku berbunyi lagi.

Syukron Akh….

Untuk beberapa jam, sms dari Yuda tersebut bisa menyedot semua pikiranku. Aku berusaha mencari bahan-bahan atau tema-tema yang asyik untuk ku jadikan cerpen penutup kepengurusan kami di Asy Syifaa. Mulai dari persoalan sehari-hari ampe masalah politik. Mulai dari hal-hal sepele ampe hal-hal yang berat. Namun sayang nggak ada satupun yang bisa membangkitkan ide-ide kreatif ku yang sedang tertidur lelap dalam tidurnya yang panjang. Sadar akan kebuntuan itu, aku mulai beranjak untuk mencari kegiatan lain. Tanpa dikomando aku berjalan menuju ruang keluarga. Tangan kanan ku meraba-raba kabel yang tersusun tak beraturan di sebelah TV 21 inci ku. Perlahan 2 buah kabel tersebut ku sambungkan ke listrik. TV nyala. Aku pun asyik mencari program yang mungkin bisa membuka imajinasiku.

Chanel 1… Gosip…

Chanel 2… Masih gosip…

Chanel 3… Waduh, gosip lagi…

Chanel 4… Untung nggak gosip, tapi sinetron ngawur…

Chanel 5… Lumayan… Nggak, maksud ku ini program yang lagi aku cari, yaitu BERITA alias NEWS.

Berita pertama, tentang anak kecil. Aku cukup tertarik. Nama yang sering di sebut sih Ponari. Waduh, ini kan si dukun cilik yang bisa nyembuhin orang dengan batu ajaibnya. Kalau aja berita ada TOP 10 nya, pasti nih berita masuk 5 besar deh. Soalnya semua program berita diramaikan dan dibombardir oleh si dukun cilik ini. Mulai dari soal batu yang disambar petir sampai masalah pendidikan dan keluarga si dukun cilik. Kayaknya jadi seleb nih Ponari, he…he… Sepertinya berita tentang Ponari ini nggak bosan-bosan untuk dibahas, sayangnya si dukun cilik nggak ngasih sedikitpun inspirasi kepada Faiz, seorang mahasiswa yang lagi cari inspirasi untuk bikin cerpennya. Dan itu adalah aku. Apa Ponari udah kehilangan kekuatannya ya??? Waduh maaf, sedikit ngelantur.

Setelah Ponari dengan batu ajaibnya, berita tentang pemilu 2009 berada di peringkat kedua. Trus menyusul berita-berita korupsi yang kian lama kian marak dan bersemi.
Bosan dengan berita yang itu-itu aja, aku kembali menukar chanel TV.

Chanel 6… Gosip, tapi tunggu dulu, bukan gosip tapi Talk Show.

Ku biarkan program ini untuk dapat ku nikmati beberapa saat. Namun sayang, aku belum bisa menangkap apa yang sedang dibicarakan. Ada satu kata yang membuatku penasaran dan mulai untuk mempertimbangkan acara tersebut. Ya, sepertinya mereka sedang membicarakan tentang INDIGO. Jujur, ini adalah pertama kalinya aku mendengar kata tersebut. Jiwa penasaran ku tergelitik. Aku penasaran. Mungkin di luar sana orang sudah heboh membicarakan tentang anak-anak indigo, tapi sekali lagi aku katakan, aku tidak tau tentang indigo.

Satu sesi talk show tersebut sudah ku lewati. Sesi selanjutnya di batasi dengan break iklan yang panjaaaaang banget. Dari satu sesi tersebut, aku dapat menangkap bahwa anak-anak indigo adalah anak-anak yang hebat. Itu juga kalau nggak salah tangkap, he….he… Contohnya aja Anisa. Bocah berusia 9 tahun ini memiliki pemikiran yang jauh lebih dewasa dari pada umurnya. Pola pikir Anisa tidak sama dengan pola pikir anak-anak yang lain, bahkan Anisa mengaku dia tidak nyambung bicara dengan anak-anak sebayanya. Bukan hanya itu saja, menurut info yang ku dengar Anisa pernah menganggap kedua orang tuanya bodoh karena tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Ya, itulah Anisa si anak indigo namun sayang Anisa pun belum cukup tangguh untuk melumpuhkan kebuntuanku dan berkomunikasi dengan alam kreatifku.

Tanpa sadar sudah 2 jam lebih aku duduk didepan benda berbentuk kubus itu, namun tak memberikan hasil apa-apa. Nihil. Ku baca kembali sms dari Yuda.

Deadlinenya hr pertama kita kul Iz. Temanya terserah kamu aja. Bisakan?
“Kan deadlinenya hari pertama kuliah, masih lama” batinku.
Akhirnya aku pun beralih untuk melakukan kegiatan lain.
***

Azan subuh berkumandang. Aku yang masing terbaring dibalut benda hangat yang nyaman, buru-buru bangun agar nggak terus larut dalam alam mimpiku. Aku menuju kamar mandi, berwudu’ dan langsung sholat berjemaah di mesjid yang tak jauh dari rumahku. Setelah itu aku membaca beberapa lembar al-quran dan dilanjutkan dengan membaca  al ma’tsurat. Jadwal setelah ini sudah jelas, yaitu memulai membuat cerpen untuk Asy Syifaa edisi terakhir walaupun aku belum menemukan ide cerita yang akan ditulis.

Aku sudah duduk manis di depan laptopku. Lembar microsoft word kosong pun sudah terbuka. Untuk beberapa menit aku belum menulis apapun juga. Aku buntu. Belum punya ide. Ku otak-atik file-file hasil download yang ku simpan disalah satu folder di laptopku, mana tahu salah satu tulisan di sana memberiku inspirasi. Namun tak berhasil. Keadaan masih sama dengan yang tadi. Lembar kosong itu tetap kosong.

Dari ruang nonton ku dengar suatu berita yang cukup menarik, tentang seorang anak cerdas pemenang olimpiade, mati bunuh diri. Tiba-tiba saja aku sudah berpindah posisi duduk di depan TV. Laptop dengan lembar kerja microsoft word yang masih kosong tadi, ku tinggalkan begitu saja. Berita tentang si anak cerdas itu pun sudah selesai, aku berencana untuk kembali ke kamar melanjutkan cerpenku yang belum selesai, ups…salah, maksudnya menulis cerpenku yang belum dibuat sama sekali. Namun, rencana tinggal rencana. Nyatanya aku masih duduk manis di depan TV untuk mendengarkan berita selanjutnya dan selanjutnya. “Ya,kan deadlinenya masih lama”, batinku. Dan selalu saja seperti itu, deadline yang masih lama, aku jadikan kambing hitamnya.
***

Sudah satu minggu liburan ini aku lalui. Namanya liburan, tentu nggak ada tugas. Tapi tunggu dulu, aduh…aku lupa kalau aku ternyata ada 1 tugas yang sebenarnya nggak berat sih, tapi aku bikin berat sendiri. Cerpen, nulis cerpen. Ku hidupkan laptop, ku buka file dengan nama “cerpen asy syifaa”, dan masih kosong. Beberapa saat aku terdiam. Berpikir. Dan tiba-tiba aku mendapat ide, entah dari mana. Saat aku akan mulai mencurahkan ide-ide ku tersebut kedalam bentuk tulisan, tiba-tiba…

Tulilit…tulilit…

Tulilit…tulilit…

Sebuah sms masuk. Ternyata dari Randi teman SMA ku.

“Assalamu’alaikum. Iz, lg lburan kn? Ke skul yuk? Kami udh ngmpl d tmpt biasa. Kamu k sn y. sgr. Gpl.”

“Waduh, betul juga tuh. Aku kan udah lama nggak ke sekolah”, kataku pada diriku sendiri. Buru-buru ku tutup laptopku. Ya, alasan yang kemarin masih bertahan di pikiranku yang membuatku semakin yakin untuk memacu motorku ke tampat biasa ngumpul dan sama-sama ke sekolah.

“Tenang Iz, deadlinenya masih lama” batinku selalu berkata seperti itu. “Kan idenya udah dapat, jadi nggak usah khawatir lagi, satu hari sebelum kuliah pun juga bisa nyelesaikan cerpennya” batinku beralasan lagi.

Ba’da ashar aku baru nyampe di rumah. Selain ke sekolah, aku juga silaturahim ke rumah teman-teman yang lain, jadilah akhirnya aku pulang sore dengan membawa rasa capek di badan.
***

Liburan sudah hampir selesai. Waktu begitu cepat berlalu. Liburan yang 2 minggu nggak kerasa lama lagi, karena 3 hari lagi aku kuliah. Masalah cerpen sudah terlupakan. Aku benar-benar tidak ingat. Tiba-tiba Hp ku berbunyi.

Tulilit…tulilit…

Tulilit…tulilit…

Sms dari Yuda.

“Assalaku’alaikum. Iz, gmn crpnya? Udh slesai? Jgn lupa y, hri prtma kliah softcopy crpnya di bawa. Aku tau klu km itu orgny plupa, he…he… makasih akh….”

Aku tersentak. Karena aku lupa akan hal itu. Aku juga lupa apakah cerpen itu sudah mulai ku buat atau belum. Ide yang kemarin sempat muncul pun, sekarang aku udah lupa. Tanganku sudah bergegas untuk menghidupkan laptop. Tanpa di komando, tanganku sudah mengarahkan cursor ke folder tempat penyimpanan cerpen tersebut. Dan apa yang kulihat…., masih lembaran kosong. Aku terperanjat. Untuk 2 hari kedepan aku sudah memiliki rencana syar’i yang nggak mungkin untuk di tinggalkan. Maka satu-satunya hari untuk menyelesaikan cerpen tersebut adalah hari ini dan 1 hari sebelum kuliah. Tapi, hari ini pun aku sudah ada agenda syar’i. Ya Allah, apakah aku sudah lalai selama ini… Tiba-tiba muncul rasa penyesalan pada diriku. Ya, penyesalan selalu saja hadir belakangan. Sekarang nasi udah menjadi bubur. Waduh, kok melankolis gini jadinya ya? Yang penting masih ada waktu 1 hari untuk menyelesaikan cerpen tersebut. Dan tidak ada lagi kata TUNDA.
***

Ini adalah hari terakhir ku liburan. Ku hempaskan tubuhku ke kasurku. Aku capek sekali. Ngantuk. Aku baru pulang dari kampung. Tadi pagi kami dapat sms kalau Kakek meninggal dunia. Habis subuh kami segera ke kampung. Dan sekarang, jam dinding telah menunjukan pukul 23.00, kami baru nyampe di rumah. Tapi, rasanya ada yang aku lupakan. Ya Allah…. CERPEN. Dan deadlinenya adalah besok. Segera ku hidupkan laptopku. Lembarnya masih kosong. Aku mulai mengetik sesuatu di lembar tersebut. Detik-detik jam dinding menemaniku malam itu.

Tulilit…tulilit…

Tulilit…tulilit…

Ternyata alarm Hp ku berbunyi. Ketika ku sadar, ternyata aku sedang berbaring di atas kasur ku. Sayup-sayup ku dengar suara azan berkumandang. Buru-buru kulihat layar laptopku. Aku berharap kalau aku sudah menyelesaikan cerpen tersebut. Tapi apa yang kulihat…. Hanya lembaran kosong dengan satu tulisan huruf besar di atas kertas “DEADLINE, 24 JAM”. Aku tersadar bahwa aku telah abaikan amanahku di akhir kepengurusan ini.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain” (Qs. Alam Nasyrah : 7)


Padang, 5 Maret 2009

HUKUMAN BAGI SI TEPAT WAKTU


“Maaf Akhi…, tunggu 10 menit lagi ya… Soalnya belum ada yang datang”.
Sudah 3 kali Husen mengulang-ulang kalimat itu pada ku. Padahal jarum jam di tanganku sudah membentuk sudut 90o dengan jarum panjang di angka 12 dan jarum pendek di angka 9. Ya, sekarang sudah jam 9 tepat dan rapat yang di rencanakan jam 8 teng ini, belum juga melihatkan tanda-tanda kehidupannya.

Saat matahari perlahan-lahan mulai naik, satu per satu anggota rapat pun datang dengan tampang tidak bersalah. Masing-masing sudah membawa alasan-alasan yang akan mereka sampaikan di forum, ada yang syar’i dan ada juga yang tidak. Akhirnya, jam 10.00 WIB rapat pun dimulai walaupun semua peserta rapat, belum hadir. Sebelum azan zhuhur rapat telah selesai dengan beberapa agenda yang di”pending” karena keputusan tidak bisa diambil dengan jumlah peserta rapat yang terlalu sedikit ini. Setelah sholat zhuhur di Mushola, akupun pulang.
***

“Waduh Ras, alot sekali rapatmu, dari jam 08.00 WIB sampai jam segini baru kelar…”, komentar salah seorang teman sekamarku. Dia adalah Afrat, salah seorang seniorku di kampus.
 
“Apa nya yang  alot Bang, mulai nya aja baru jam 10.00 WIB, itu pun dengan peserta rapat yang pas-pasan”, aku melihat raut wajah bang Afrat mulai berubah. Aku tak tau, itu pertanda baik atau buruk.

“Ya udah, mungkin mereka ada urusan syar’i, ingat nggak boleh bersu’uzon dulu,” kata bang Afrat sambil mengusap-usap punggungku. Dari mimiknya bisa ku baca bahwa dia tau aku cukup kecewa.
***

Hari ini jadwalku cukup padat, bahkan mungkin sangat padat. Jam 07.00 sampai jam 11.00, aku kuliah. Setelah itu dari jam 11.00 sampai 12.30, ada pratikum. Trus, ba’da zhuhur aku meneruskan rapat yang belum kelar kemaren sampai selesai, biasanya sampai jam 18.00. Dan jam 15.00 aku juga ada temu alumni di SMA ku.

Waduh, pusing juga mikirinnya. Apalagi aku tipe orang yang susah memilih 2 hal yang ku anggap sama-sama penting. Bang Afrat pernah menasehatiku, katanya “Ras, hidup kita ini nggak selalu lurus. Kadang berkelok, kadang menurun, kadang menanjak, kadang sesuai dengan keinginan kita dan kadang nggak sesuai dengan keinginan kita. Jadi untuk menentukan sesuatu, gunakan SKALA PRIORITAS”. Begitulah yang selalu di ucapkan Bang Afrat pada ku, jika aku selalu mengeluh tentang jadwal ku yang selalu berbentrokkan. Kalau dipikir-pikir, jadwal Bang Afrat jauh lebih padat dari padaku, tapi kok abang tersebut kayaknya fine-fine aja ya dengan jadwalnya yang seabrek itu. Aku aja dengan jadwal segini, udah pusing tujuh keliling. He…he….

Ok, sekarang aku sudah berencana untuk memprioritaskan Rapat ku yang belum kelar kemaren, karena disana pun aku berkedudukan sebagai koordinator seksi acara dalam kegiatan Bakti Sosial. So, aku harus hadir dong. Dan kira-kira ba’da ashar, aku permisi untuk mengikuti acara alumni di SMA ku.
***

Setelah sholat zhuhur di Mushola kampus, aku bersegera ke tempat rapat. Aku sengaja lebih awal ke tempat rapat, karena aku akan minta izin kira-kira jam 16.00 nanti. Aku berharap rapat dapat berjalan tepat waktu sehingga waktu yang ada dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Tapi apa yang terjadi…., sampai jam 13.20 ruang rapat masih tetap di huni oleh 1 orang, yaitu aku. Aku tak tau, kemana teman-teman yang lain. Sudah ku coba untuk menghubungi beberapa orang, ada yang makan dulu, ada yang masih kuliah dan masih banyak alasan-alasan yang lain.

Jam 13.40 anggota rapat mulai datang, tapi…. ya seperti itulah, rapat masih belum dimulai, katanya “tunggu yang lain dulu”. Benar-benar, kita masih menghukum orang yang tepat waktu untuk menunggu orang yang tidak disiplin. “Apakah ini kebiasaan turun-temurun?”. Tiba-tiba terbersit pertanyaan itu di benak ku. Akhirnya, jam 14.00 rapat baru dimulai. Aku meminta pemimpin rapat untuk mendahulukan membahas masalah di seksiku, seksi acara, ya…terlebih dahulu dengan mengemukakan alasannya. Permintaanku di setujui forum dan tepat sebelum azan ashar, pembahasan seksiku selesai.

“Sen, aku izin ya…. Aku ada acara temu alumni di SMA. Tapi aku udah usaha datang lebih awal, agar rapatnya mulai tepat waktu dan bisa cepat selesai juga, tapi nyatanya jam 2 juga mulainya”, kataku kepada Husen yang merupakan ketua dalam acara ini.

“Ya udah Ras, pembahasan seksi mu kan udah selesai, ntar hasil rapat selanjutnya aku kasih tau aja atau ntar malam ku sms, Ok…. Oh ya, tadi teman-teman udah minta izin ke aku, katanya banyak yang belum makan jadi makan dulu, karena itu rapatnya jadi jam 2. Maaf ya….”.
***

Tidak hanya itu saja, rapat-rapat setelah itupun berlangsung lebih kurang seperti dua rapat di atas, lebih mengutamakan yang telat dan menghukum yang datang tepat waktu.

“Ras, kamu nggak ikut rapat? Katanya ada rapat koordinator-koordinator sekarang? Udah pukul 2 kurang 10 loh, ntar kamu telat lagi, katanya mulai jam 2 kan?”, kata Bang Afrat mengingatkan ku yang masih duduk santai membaca majalah Tarbawi.

“Ah, santai aja bang. Palingan juga mulainya jam 3an, kalau aku pergi sekarang masih belum ada orang”, jawabku sepele masih sambil menekukkan kepalaku ke majalah tarbawi.

“Tapi rapatnya kan jam 2 Ras,” ulang Bang Afrat meyakinkanku.

“Iya bang, aku tau. Tapi aku dah kapok datang tepat waktu, kena hukum terus,” kataku pada bang Afrat sambil menutup majalah tarbawi yang ku baca.

“Waduh, nggak bisa kayak gitu tuh… Masa’ kapok datang tepat waktu sih. Dan mana ada orang tepat waktu di hukum Ras, yang ada tuh orang telat yang yang dihukum…. Kamu nih ada-ada aja”, tanya Bang Afrat heran mendengar penuturanku.

“Orang datang tepat waktu dihukum untuk nungguin yang datang telat, padahal kepentingan kita nggak itu aja kan bang. Ya udah lah bang, aku makan dulu habis itu baru aku berangkat”, jawab ku akhirnya dan segera meninggalkan tempat duduk ku menuju dapur.

Ternyata benar dugaanku, jam menunjukkan pukul 14.30 saat aku sampai di ruang rapat, namun peserta rapat masih bisa aku hitung dengan jari. Apakah sangat kroniskah penyakit telat di kampus ini atau telat adalah sifat turunan bangsa Indonesia? Padahal dalam pepatah sudah dikatakan bahwa “waktu adalah uang” dan kita tahu bahwa segala didunia ini butuh uang namun uang bukanlah segalanya. Dan dalam surat Al 'ashr juga dijelaskan tentang waktu, yang mana arti surat 1-2 adalah : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar kerugian.
***

Sekarang beberapa bulan pun telah berlalu, aku menjadi menikmati kebiasaan ku baru-baru ini yaitu TELAT. Aku yang dulu sangat ANTI dengan yang namanya telat, sekarang malah MENIKMATI telat itu. Dulu, jika rapat dimulai jam 2, aku sudah duduk manis di ruang rapat jam 2 kurang 10. Namun sekarang, jika rapat dimulai jam 2, maka aku ke ruang rapat jam 3 bahkan lewat. Bang Afrat heran melihat perubahanku. Setiap kali ditanya, aku selalu bilang kalau aku kapok datang tepat waktu. Aku yakin, Bang Afrat paham dengan apa yang ku maksud, namun dia tetap berusaha menasehatiku untuk merubah sikapku.

“Ras, kok kamu jadi nggak menghargai waktu kayak gini sih? Dulu, yang abang tau kamu tuh paling anti dengan yang namanya telat, tapi sekarang kamu suka telat sih?”, tanya bang Afrat lembut kepada ku karena takut menyinggung perasaanku.

“Iya bang, aku udah kapok datang tepat waktu dan aku udah bosan jadi tukang tunggu”, jawabku singkat.

“Tapi ini bukan solusi Ras”, kata Bang Afrat lagi.

“Habis mau diapain lagi bang, emang kenyataannya kayak gini. Datang tepat waktupun, rapat juga nggak akan dimulai jam segitu. Kayaknya udah seperti ketentuan yang nggak tertulis deh bang, kalau di surat undangan rapatnya jam 8, di kenyataannya rapat dimulai jam 9. Jadi orang-orang pada datang jam 9 bang”, aku mulai menjelaskan dengan realita-realita yang ada.

Karena itu mulai dari diri kamu sendiri, biasakan tepat waktu”, tambah bang Afrat sambil mengusap-usap punggung ku yang mengingatkan ku pada ibu di kampung yang selalu mengusap-usap punggungku kalau sedang bicara dengan ku.

“Dulu udah bang, tapi….hasilnya gitu-gitu juga”, kataku yang langsung disambung oleh azan magrib yang berkumandang dari mesjid didekat situ.
***

Kebiasaan TELAT, sudah seperti mendarah daging di diriku. Itu terbukti ketika aku melihat surat undangan dimana di sana tertulis jam 08.30, otakku langsung menginterpretasikan agar aku datang jam 09.00. Rapat demi rapatpun aku lalui dengan metode seperti itu, sampai pada suatu ketika ketua forum mendelegasikan aku untuk mengikuti rapat bersama Dekan di dekanat jam 10.00. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja pikiran bawah sadarku menyuruhku untuk datang jam 10.30, padahal aku tahu bahwa Bapak dekan terkenal sebagai orang yang disiplin.

Ketika aku datang dan memasuki ruangan rapat, rapat sudah dimulai dan kelihatannya semua peserta sudah datang pada jam yang telah ditentukan, ya…kecuali aku tentunya. Tiba-tiba Pak dekan menghentikan pengarahannya dan mengarahkan pandangannya padaku.

“Ya, kamu yang baru datang, dari utusan UKM apa? Kenapa baru datang? Rapat sudah di mulai setengah jam yang lalu”, kata Pak dekan dengan tampang yang jauh dari senyum.

Tergagap aku menjawabnya, sekarang semua mata tertuju padaku, tak hanya mata Pak Dekan saja.”Dari UKM BSD pak”, jawabku singkat, aku tak mau memperpanjang urusannya. Aku ke sini membawa nama forum, nama UKM. Jangan gara-gara keteledoran pribadiku membuat citra UKM ku menjadi buruk.

“Ya sudah, duduk. Saya tidak suka, saat saya bicara ada orang keluar-masuk, itu menggangu kosentrasi saya. Lebih baik nggak masuk dari pada telat”, kata Pak dekan yang akhirnya melanjutkan pengarahannya, namun kata-katanya yang terakhir membuat aku kembali sadar, betapa pentingnya menghargai waktu dan datang tepat waktu. Orang-orang terpelajar dan berpendidikan pastilah lebih menghargai waktu. Apalagi di dalam agama kita lebih menyukai orang yang menepati janji, termasuk janji terhadap waktu.

Aku mulai merenungi kembali kata-kata Bang Afrat yang selalu sabar menasehatiku. Memang TELAT sudah seperti budaya di Indonesia ini, namun yakinlah kita bisa merubahnya. Mulailah dari diri kita sendiri, jangan sampai kita selalu menghukum orang yang tepat waktu demi hanya menoleransi orang yang tidak menghargai waktu. So, semuanya tergantung kita, cepat segera ubah Mind Set kita.
***

Kewaspadaan Tingkat Tinggi ¤_¤


Lagi-lagi malam ini kewaspadaanku harus meninggkat, atau lebih tepat ku gunakan kata “ditingkatkan”. Makhluk itu tiba-tiba muncul dihadapanku. Aku terperanjat. Seketika adrenalinku meningkat. Aku palpitasi, berkeringat dingin, pucat dan diam di tempat. Tepat beberapa detik setelah itu, aku meloncat tak tentu arah. Yang penting, aku harus menjauh dari tempat itu.

Anehnya, makhluk itu tak bergeming sedikit pun. Membuat ku tambah panik. Itu adalah salah satu tanda-tanda makhluk aneh yang ku takuti --tak merespon terhadap rangsangan--. Saat keadaan tubuhku sudah terkompensasi, aku mulai cari solusi dan ambil aksi. Seperti biasa, kemoceng adalah senjata terampuhku. Dengan gerakan bak seorang pe’anggar’ ulung, ku arahkan kemoceng itu pada makhluk yang membuatku ketakutan. Namun sayang, dia tak jua bergeming. Apa yang harus kulakukan??? Aku paling takut dengan “makhluk” yang tidak tangap dengan respon. Aku menganggap “makhluk itu” adalah makhluk yang patologis.

Akhirnya jurus terakhirpun ku kerahkan. Panggil k’Riri untuk ngusir tuh makhluk. Masalah pun terselesaikan, tapi masih meninggalkan perasaan waspada yang sangat tinggi pada diriku. Benar-benar perasaan yang tidak menyenangkan.

Kejadian itu pun terulang lagi. Ini malah lebih aneh. Aku bertemu dengan makhluk tersebut, tapi anehnya makluk itu lagi kejang-kejang. Ih, aku juga nggak tau apa yang terjadi sama dia. Abis kejang-kejang, eh dia malah diam aja kayak patung, nggak gerak sama sekali. Saat kejang-kejang, ekornya menghempas-hempas ke atas dan ke bawah serta kaki dan tangannya bergerak ke atas dan ke bawah juga kayak orang lagi berenang gitu. Ih, benar-benar aneh. Akhirnya benteng pertahananku roboh, aku pun menggunakan jurus terakhir lagi, yaitu manggil ila untuk ngusir tuh makhluk. Thanks Ila, thanks kak riri. Thanks Allah………..

INTERNATIONAL STANDARD FOR TUBERCULOSIS CARE (ISTC)


Standard Untuk Diagnosis
STANDARD 1

•Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak jelas

penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis

•Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk diagnosis adalah berat badan

yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk

 

STANDARD 2

•Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak yang dapat mengeluarkan dahak) yang

diduga mengalami TB Paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik

minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin minimal satu spesimen harus berasal

dari dahak pagi hari

 

STANDARD 3

•Pada semua pasien (dewasa, remaja, anak) yang diduga mengalami TB Ekstra

Paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan

mikroskopik dan jika tersedia fasiliti dan sumber daya, dilakukan pemeriksaan biakan

dan histopatologi

•Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya

TB Paru dan TB Milier. Pemeriksaan dahak perlu dilakukan, bila mungkin juga pada

anak

 

STANDARD 4

•Semua orang dengan temuan foto toraks diduga TB seharusnya menjalani

pemeriksaan dahak secara mikrobiologi

 

STANDARD 5

•Diagnosis TB Paru sediaan apus dahak Negatif harus didasarkan kriteria berikut :

minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal 1 kali

dahak pagi hari) ; temuan foto toraks sesuai TB dan Tidak Ada Respons terhadap

antibiotika spektrum luas (Fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M. TB

complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada pasien TB.

•Untuk pasien ini, jika tersedia fasiliti, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada

pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.

STANDARD 6

•Diagnosis TB Intratoraks (paru, pleura dan KBG hilus atau mediastinum) pada Anak

dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif seharusnya didasarkan atas

kelainan radiografi toraks sesuai TB dan paparan pada kasus TB menular atau bukti

infeksi TB (uji kulit tuberkulis positif atau interferron gamma release assay).

•Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasiliti, bahan dahak seharusnya diambil untuk

biakan (dengan cara batuk, bilas lambung atau induksi dahak)

•(ADD) Untuk pelaksanaan di Indonesia, diagnosis TB intratoraks pada anak

didasarkan atas pajanan kepada kasus TB yang menular atau bukti infeksi TB (uji

kulit tuberkulin positif atau interferon gamma release assay) dan kelainan radiografi

toraks sesuai TB

 

Standard Untuk Pengobatan

STANDARD 7

•Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengembang tanggung jawab kesehatan

masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya

wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus mampu menilai

kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menangani ketidakpatuhan bila

terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan akan mampu

meyakinkan kepatuhan kepada paduan sampai pengobatan selesai

 

STANDARD 8

•Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati

harus diberi paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional

menggunakan obat yang bioavailabilitinya telah diketahui.

•Fase awal harus terdiri dari isoniazid, rifampisin, piranzinamin, dan etambutol.

•Fase lanjutan yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan selama

4 bulan.

•Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif yang pada

fase lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan

tetapi hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh, terutama untuk pasien yang

terinfeksi HIV.

•Dosis OAT yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional.

Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat (RH), 3 obat (RHZ), dan 4

obat (RHZE) sangat direkomendasikan terutama jika menelan obat tidak diawasi.

•(ADD) Etambutol boleh dihilangkan pada fase awal pengobatan pasien dewasa dan

anak dengan sediaan apus dahak negatif, tidak mengalami TB paru luas atau

penyakit ekstraparu yang berat, serta diketahui HIV negatif

•(ADD) Secara umum terapi TB diberikan selama 6 bulan, namun pada keadaan

tertentu (meningitis TB, TB milier dan TB berat lainnya) terapi TB diberikan lebih

lama (9-12 bulan) dengan paduan OAT yang lebih lengkap sesuai dengan derajat

penyakitnya.

 

STANDARD 9

•Untuk membina dan menilai kepatuhan pengobatan, suatu pendekatan pemberian

obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien, dan rasa saling

menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya

dikembangkan untuk semua pasien.

•Pengawasan dan dukungan seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik

untuk berbagai usia dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang

direkomendasikan serta layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan

penyuluhan pasien.

•Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan

cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan

menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai

keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu pasien dan

penyelenggara pelayanan.

•Cara-cara ini dapat mencakup pengawasan langsung menelan obat (directly

observed therapy-DOT) oleh pengawas menelan obat yang dapat diterima dan

dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan

 

STANDARD 10

•Semua pasien harus dimonitor responsnya terhadap terapi ; penilaian terbaik pada

pasien TB adalah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (2 spesimen) minimal

pada waktu fase awal pengobatan selesai (2 bulan), pada lima bulan, dan pada akhir

pengobatan.

•Pasien dengan sediaan apus dahak positif pada pengobatan bulan ke5 harus

dianggap gagal pengobatan dan pengobatan harus dimodifikasi secara tepat (std.14

dan 15).

•Pada pasien TB ekstraparu dan TB anak, respons pengobatan terbaik dinilai secara

klinis. Pemeriksaan foto toraks umumnya tidak diperlukan dan dapat menyesatkan.

•(ADD) Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru

BTA negatif dapat dinilai dengan foto toraks

STANDARD 11

•Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan

efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien

 

STANDARD 12

•Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi (> 5 % penduduk) pada populasi umum dan

daerah dengan kemungkinan tuberkulosis dan infeksi HIV muncul bersamaan,

konseling dan uji HIV diindikasikan bagi Semua pasien TB sebagai bagian

penatalaksanaan rutin

•Di daerah dengan prevalensi HIV yang lebih rendah, konseling dan uji HIV

diindikasikan bagi pasien TB dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang

berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB yang mempunyai riwayat risiko tinggi

terpajan HIV

 

STANDARD 13

•Semua pasien dengan TB dgn infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk menentukan

perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral (ARV) diberikan selama masa pengobatan

TB.

•Perencanaan yang tepat untuk mengakses ARV seharusnya dibuat untuk pasien

yang memenuhi indikasi.

•Mengingat kompleksnya penggunaan serentak OAT dan ATV, konsultasi dengan

dokter ahli di bidang ini sangat direkomendasikan sebelum mulai pengobatan

serentak untuk infeksi HIV dan TB, tanpa memperhatikan mana yang muncul lebih

dahulu. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan TB tidak boleh ditunda.

•Pasien TB dengan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai

pencegahan infeksi lainnya.

 

STANDARD 14

•Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan OAT

terdahulu, paparan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi

resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien.

•Pasien gagal pengobatan dan kasus kronik seharusnya selalu dipantau

kemungkinan akan resistensi obat.

•Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitifiti obat

terhadap RHE seharusnya dilaksanakan segera.

 

STANDARD 15

•Pasien TB yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya

diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung OAT lini kedua. Paling tidak

harus digunakan 4 obat yang masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling

sedikit 18 bulan.

•Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan

pasien terhadap pengobatan.

•Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam

pengobatan pasien dengan MDR-TB harus dilakukan.

 

Standard Untuk Tanggung Jawab Kesehatan Masyarakat

STANDARD 16

•Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien TB seharusnya memastikan bahwa

semua orang (khususnya anak balita dan orang terinfeksi HIV) yang mempunyai

kontak erat dengan pasien TB menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana

sesuai dengan rekomendasi internasional.

•Anak balita dan orang terinfeksi HIV yang telah terkontak dengan kasus menular

seharusnya dievaluasi untuk infeksi laten M. TB maupun TB aktif

 

STANDARD 17

•Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus TB baru

maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor dinas

kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijakan yang berlaku

•Pelaksanaan pelaporan seharusnya difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Dinas

Kesehatan setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

AKU, AYAH DAN KEDOKTERAN...


Waktu itu, saat ku duduk di kursi tunggu ruang praktekku. Tak sengaja aku mengarahkan kepalaku kepada suatu pemandangan yang membuatku teringat kembali kepada masa laluku.

Di seberang jalan persis di depan tempat praktekku, seorang bapak-bapak sedang menggandeng anaknya yang berumur lebih kurang 5 tahun, itu menurut prediksiku. Anak yang masih menggunakan seragam Taman Kanak-kanak dengan menyandang sebuah botol minuman itu kelihatan seperti sedang berbincang-bincang dengan ayahnya. Ketika mereka berjalan semakin mendekat ke tempatku, akupun tak segaja menguping pembicaraan mereka.

“Jov, tadi di sekolah belajar apa?”, tanya ayah anak tersebut sambil mengusap kepala si anak dengan lembut dan penuh kasih sayang.

“Tadi Jovey belajar mengambar dan mewarnai, Yah”, jawab anak tersebut yang ternyata bernama Jovey.

“Gimana, kamu bisa nak?”, tanya ayah si anak lagi.

“Tentu dong Yah, aku kan anak pintar”, jawab Jovey semangat sambil menunjuk kepalanya yang sebelah kanan.

“Bagus nak, bagus. Kamu harus belajar yang rajin, agar besok bisa jadi orang besar. Biarlah ayah yang susah seperti ini, yang penting kamu bisa sekolah dan mencapai cita-cita mu. Ayah ingin kalau kamu besar nanti, kamu bisa jadi dokter. Supaya kalau ayah sakit, kamu bisa obati ayah dan kita tidak perlu keluar banyak uang lagi”, ujar ayah Jovey.

Aku tak yakin, apakah Jovey kecil mengerti apa maksud perkataan-perkataan ayahnya tersebut. Kulihat, ayah Jovey sangat berharap sekali Jovey dewasa akan menjadi seorang dokter, ya dokter sepertiku. Jovey kecil dan ayahnya sudah mulai menjauh dari tempatku, namun sayup-sayup masih kudengar Jovey menjawab dengan semagat dan keluguannya,”Baik, ayah. Besok kalau Jovey sudah besar, Jovey akan jadi dokter. Dan kalau ayah sakit, ayah tidak usah berobat mahal-mahal lagi, Jovey akan mengobati ayah sampai sembuh.” Kemudian suara Jovey kecil semakin menjauh dan tak terdengar lagi. Walaupun kedua anak dan bapak itu sudah berjalan jauh meninggalkan tempat praktekku, namun percakapan yang tak sengajaku dengar itu melemparkan aku kembali ke 25 tahun yang lalu. Aku dan ayahkupun pernah berbincang-bincang seperti itu ketika aku dibonceng dengan sepeda sepulang dari sekolah. Walaupun ayahku hanya seorang pedagang kecil, namun ayah selalu menyisihkan waktunya untuk menjemputku. Dia rela menutup toko kecilnya demi ingin menjemputku. Bahkan pedagang-pedangan yang lain pernah menyindir ayahku, “Man, kamu niat jualan ngak sih! Bentar tutup, bentar buka. Kalau ngak niat, tutup aja tuh toko”. Begitulah kira-kira perkataan pedangang-pedangang yang berjualan didekat toko ayahku. Ya, begitulah ayahku selalu mementingkan kepentingan anaknya dari pada kepentingan dirinya sendiri.

Kami sering sekali bercerita, bercerita seperti Jovey dan ayahnya tadi. Pada saat itu, ayah selalu membelikan apa yang aku minta, dia selalu bilang,”Randi, kamu harus belajar yang rajin, supaya jadi orang pintar dan bisa jadi dokter. Kalau Randi sudah jadi dokter, Randi bisa mengobati ayah kalau ayah sakit dan bisa beli apa yang Randi mau”. Itulah yang selalu ayahku katakan padaku. Sehingga ketika guru Bahasa Indonesia kelas 1 SD ku bertanya tentang cita-cita, aku dengan PDnya menjawab ingin menjadi dokter. Ketika itu, aku belum tau apa itu sebenarnya cita-cita dan apa sebenarnya pekerjaan dokter itu, yang aku tahu kalau aku jadi dokter, aku bisa beli semua yang aku mau, hanya itu. Cita-citaku jadi dokter tak bertahan lama, ketika aku duduk di kelas 4 SD, aku bercita-cita ingin jadi tentara, karena kebanyakkan temanku bercita-cita menjadi seorang tentara. Itupun tak bertahan lama. Saat aku duduk di kelas 2 SMP, aku bercita-cita ingin menjadi pilot. Sampai akhirnya ketika aku duduk di kelas 3 SMA, semuanya telah berubah, aku tak seperti Randi kecil lagi yang selalu patuh pada perkataan ayahku. Sekarang aku lebih suka mendengar kata teman-temanku dari pada perkataan orang tua ku. Seiring dengan waktu, usia ayahku pun mulai beranjak tua.

Otot-ototnya yang dulu kekar, sekarang sudah mulai kendor. Tulang-tulangnya yang dulu kuat dan selalu mengendongku, sekarang mulai lemah. Sekarang umurku 18 tahun, sudah 13 tahun percakapan-percakapan hangat ku dan ayah tentang cita-citaku menjadi seorang dokter berlalu. Aku sudah lama lupa akan percakapan itu, namun tak kusangka ayah masih sangat mengingat percakapan antara dia dan si Randi kecil.

Besok adalah hari pengumunan kelulusan ku di SMA. Aku sudah mempersiapkan diriku untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun bukan ke Kedokteraan. Aku sudah berencana untuk melanjutkan pendidikanku ke Teknik Informatika ITB, karena aku sangat tergila-gila pada dunia komputer dan software. Malam harinya, ayah kembali bertanya kepadaku tentang keputusanku dan kembali berusaha untuk menyakinkanku agar mau melanjutkan pendidikanku ke Fakultas Kedokteraan UNAND.

“Ndi, percayalah pada ayah. Menjadi dokter lebih baik dari pada menjadi Sarjana Teknik. Mau jadi apa kamu nanti? Lebih baik jadi dokter, lebih jelas kerjanya dan kita ngak terikat. Kamu juga bisa buat tempat praktek sendiri.” Ayahku berusaha keras untuk meyakinkanku, itu terlihat jelas dari mimik mukanya yang menyimpan harapan besar agar aku menjadi seorang dokter.

“Tapi yah, Randi ngak suka Biologi dan lagi pula di Kedokteran itu bukunya tebal-tebal”, jawabku keras namun ku tetap berusaha untuk menjaga kesopanku. Aku tau betapa sebenarnya ayahku menginginkan aku menjadi seorang dokter. Aku tak tau alasan pasti ayah, namun salah satu alasannya yang kuingat dalam percakapan masa kecilku dengan ayah adalah agar aku bisa mengobati ayah kalau ayah sakit dan kita tidak perlu keluar uang banyak. Emangnya sakit apa sih ayah, palingan cuma flu atau demam biasa aja, kan bisa berobat ke puskesmas tanpa bayar, gumamku dalam hati.

Beberapa hari kemudian, ketika aku sudah dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan, ayah terus berusaha membuatku mengubah pikiran dan mau masuk ke Fakultas Kedokteran UNAND. Memang perbuatan ayahku tidak bisa dibilang memaksa, namun dari mimik dan ekspersinya, aku tahu sebenarnya ini adalah paksaan. Sekarang aku tahu satu lagi alasan ayah mengapa menyuruhku menjadi seorang dokter. Malam itu, ayah bercerita tentang proses kelahiranku. Saat melahirkanku, ibuku dalam keadaan yang sangat gawat, nyawanya dipertaruhkan. Aku memang lahir dengan cara normal, namun ada kesalahkan dengan jahitan pada vagina ibuku. Dokter yang menolong persalinan ku, lupa menjahit bagian dalam vagina ibuku, sehingga darah ibu tetap mengucur dengan deras sampai ibuku kehilangan banyak darah dan di kirim ke RS.Ahmad Muchtar Bukittinggi. Kami yang berdomisili di Payakumbuh jarang sekali berkunjung ke RS.Ahmad Muchtar Bukitting begitu juga ayahku. Hal ini membuat ayah tidak familiar dengan jalan masuk dan keluar Rumah Sakit. Saat itu malam hari, dokter berkata bahwa ibuku butuh 7 kantong darah, ayah sangat binggung dan panik kemana ia harus mencari 7 kantong darah malam-malam begini, sampai-sampai dia tidak tahu lagi dimana pintu masuk dan keluar Rumah Sakit tersebut. Orang yang dikenalpun tidak ada, tiba-tiba ada seorang mahasiswa kedokteran yang sedang KoAss menolong ayahku. Sejak saat itu, ayah ingin sekali kalau aku menjadi seorang dokter. Begitulah kira-kira cerita ayahku.

Cerita semalam, mulai sedikit bisa merubah pendirianku, walau tak 100% berubah. Akhirnya dengan sedikit terpaksa aku mengambil kedokteraan UNAND pada pilihan pertama di blangko SPMBku.

Sekarang hari Senin, hari dimana pengumuman kelulusan SPMB akan dimuat disemua surat kabar secara serentak. Sayang, aku tidak begitu antusias untuk melihatnya. Aku tak tahu kenapa. Namun, tiba-tiba pintu rumahku terbuka. Ada seseorang yang mengucapkan salam di luar sana, dan aku yakin itu adalah suara ayahku. Sambil sedikit berlari, ayah masuk dengan wajah sangat cerah. Kelihatan sekali dari mulutnya yang tersenyum lebar. Ditanganya kulihat ada sebuah koran, ya tepatnya koran yang berisi pengumuman SPMB.

“Ndi, kamu lulus nak. Kamu lulus di kedokteraan?”, ayah semangat sekali menyampaikannya padaku. Sebenarnya aku sedikit tidak bahagia, namun ku paksakan wajahku tersenyum.

“Iya, yah”, jawab ku singkat. Kulihat gurat kebahagian jelas tersirat di wajah ayahku, dan sepintas kulihat matanya berkaca-kaca. Baru kali ini kulihat ayah sebahagia ini.

“Kamu belajar saja yang rajin, soal biaya jangan kamu pikirkan biar ayah dan ibumu yang urus”, ayah kembali berkata sambil mengusap punggungku, walau ku tau sebenarnya sulit bagi kedua orang tuaku untuk menggumpulkan uang sebanyak itu.

Sudah 2 bulan aku belajar dan menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteraan Universitas Andalas ini. Namun, aku masih merasa terpaksa belajar di sini. Aku berusaha mencari kegiatan yang membuatku nyaman dan betah ke kampus. Pertama yang terpikir olehku adalah dengan mencari pacar, ya dengan pacaran kita punya motivasi untuk ke kampus. Aku sudah memiliki target seorang cewek yang lumayan cantik, kulitnya putih dan kelihatannya anak orang kaya. Jangan heran kalau aku bisa mendapatkan cewek yang cantik, karena akupun tak kalah tampannya, kulitku putih bersih dan aku adalah orang yang rapi.

Cara pertamaku lumayan berhasil, cara ini membuat aku rajin kekampus walaupun bukan untuk kuliah. Beberapa minggu berjalan dengan cewek baruku yang bernama Lia, aku sudah mulai bosan. Ternyata dia tidak sebaik rupanya dan terlalu manja, kemana-mana minta ditemanin, emang aku pengawalnya apa? Genap 3 bulan, aku putus dengan Lia. Kemudian aku kembali mencari kesibukan lain di kampus, salah satunya dengan masuk organisasi. Ingin coba-coba, aku masuk FSKI (Forum Studi Kedokteran Islam). Sebenarnya aku anti sekali dengan organisasi-organisasi seperti ini, tapi mencoba kan ngak ada salahnya. Iya kan?
Beberapa minggu aku bergabung dengan FSKI, benar-benar membuatku binggung. Namun ada satu alasan yang membuatku bertahan, yaitu Haniifah, cewek berjilbab rapi dengan pakaiannya yang longgar, tidak seperti Lia cewekku dulu, namun herannya Haniifah tetap manis dan cantik walaupun seluruh tubuhnya tertutup rapi. Aku tak tau, apa yang membuatnya begitu manis. Karena itu setiap acara FSKI pasti aku datang, paling tidak melihat wajah dan senyumnya saja sudah cukup. Dan ajaibnya sekarang aku sudah mulai kuliah dengan rajin, walau hanya demi Haniifah. Haniifah selalu duduk di depan ketika kuliah, itu memotivasiku untuk duduk di depan juga ketika kuliah. Aku yakin, Haniifah pasti tak tahu kalau aku memperhatikannya. Kenal denganku pun, aku tak yakin. Dia selalu menunduk ketika mata kami tak sengaja beradu. Matanya begitu indah.

Lama-kelamaan seiring aktifnya aku di FSKI, Haniffah mulai mengenalku. Walaupun percakapanku dengannya masih sangat kaku. Memang berbicara dengan dia tidak sama dengan berbicara dengan wanita-wanita yang pernah ku kenal. Karena begitu sering bertemu, melihat dan memandangnya, sudah muncul rasa cinta ku yang besar kepadanya. Dan pada hari ini, aku berniat untuk “menembaknya” dan memintanya menjadi pacarku. Namun aneh sekali, dia malah lari. Dan beberapa hari setelah itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Sikapnya padaku juga berubah. Ketika bertemu dia selalu menghindar dariku, aku merasa dia menjauhiku. Hal itu membuatku kembali tidak fokus pada kuliahku. Aku benar-benar merasa ini adalah cinta ku yang paling tulus, perasaan ini kurasakan sangat berbeda dengan perasaan-perasaan cinta yang pernah kurasakan. Namun kenapa dia malah menjauhiku? Membuat hatiku hancur berkeping-keping.

Sore ini, FSKI mengadakan acara Tasqif, aku hadir dalam acara tersebut dengan berharap aku bisa melihat Haniifah. Tasqif adalah semacam ceramah agama, yang diadakan dalam suatu ruangan. Namun sayang, apa yang kuharapkan tak kudapatkan. Aku hampir saja meninggalkan tempat dudukku ketika ku dengar MC menyebutkan tema Tasqif pada hari ini adalah tentang CINTA. Kursi yang sudah kugeser kebelakang, pelan-pelan kutarik lagi ketempat semula. Aku pun mulai mendengarkan dan menghayati acara tasqif pada hari ini.

Sepulang acara tasqif kemarin, aku sadar bahwa cinta yang sesungguhnya adalah cinta kepada Allah dan pacaran itu tidak ada di dalam islam. Sekarang aku mengerti mengapa sikap Haniifah berubah padaku. Dan sekarang aku bertekat untuk belajar sungguh-sungguh agar bisa cepat menjadi dokter dan membahagiakan ayahku. Malam itu aku berniat untuk menelepon ayah dan meminta maaf atas segala sikap serta kesalahanku selama ini. Aku sadar, selama ini aku sangat jauh sekali dari agama, sampai-sampai aku tidak tau bagaimana islam sangat memuliakan orang tua.

Tanganku mulai menggapai HP, namun tiba-tiba HPku berdering. Ada tulisan “ayah” dilayarnya. Dengan senang ku pencet salah satu tombol di HPku dan meletakkan HP itu di telinga kananku.

“Assalamu’alaikum yah”, kataku mengucap salam. Namun suara diseberang sana bukan suara ayahku, itu adalah suara paman, adik ayahku. “Ada apa paman, kok nelepon dari HP ayah?”, tanyaku penasaran, namun langsung ku sambung dengan pernyataan lain. ”Waduh kebetulan sekali paman nelpon, aku sebenarnya juga mau nelpon”, sambungku lagi. Pamanku yang diseberang sana masih tanpa suara. “Oh ya paman,ayah mana? Ada yang mau ku omongin sama ayah, aku mau bilang aku dapat nilai A untuk blok ini, pasti ayah senang. Ayah masih di toko ya paman?”, tanya ku lagi, karena paman masih saja belum menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

“Ndi, ayahmu udah pulang”, kata paman datar.

“Ya udah, baguslah Paman. Tolong berikan HPnya ke ayah sebentar Paman, pasti ayah senang mendengar berita dari Randi”, kembali ku ulang permintaanku kepada paman.

“Ndi, ayahmu …”, tiba-tiba perkataan paman terhenti, seperti ada sesuatu yang mencekik lehernya.

“Ada apa paman?”, tanyaku tambah tak mengerti.

“Ayahmu sudah tiada Ndi. Kamu yang tabah ya….”, kata paman mulai menenangkanku.
Perkataan paman, seperti petir dan guruh yang menggelegar di telingaku. Aku benar-benar terkejut dan shok berat. Tanganku gemetar, leherku terasa terjerat dan mulutku kaku, namun kupaksakan untuk bericara. Dan tak sadar, air mata sudah mengenang di pipiku.

“Ayah kenapa paman, sakit apa? Setahu Randi ayah sehat-sehat saja?”, tanyaku tak percaya.

“Memang kelihatannya ayahmu sehat-sehat saja, tapi sebenarnya ayahmu punya penyakit jantung. Karena itulah dia selalu memintamu untuk menjadi seorang dokter”.

Mendengar perkataan paman tadi, aku merasa sangat menyesal, mengapa dulu aku susah sekali untuk di suruh masuk kedokteraan, mengapa aku dulu malas-malasan dalam belajar. Sekarang ketika aku mau minta maaf dan ketika aku ingin memberi tahu nilai ku yang bagus, ayah telah pergi untuk selamanya. Memang, penyesalan selalu datang belakangan. Apa mau dikata semuanya telah terjadi.

2,5 tahun kemudian aku bergelar Sarjana Kedokteran. 1 tahun setelah itu aku sudah menjadi seorang dokter. Dan sekarang aku sudah punya satu orang anak dan seorang istri yang solehah serta cantik, dia adalah Haniifah. Sekarang aku tau, sebenarnya ayah memintaku menjadi seorang dokter adalah untuk kebaikkanku dan agar aku bisa menolong orang-orang yang membutuhkan pertolonganku supaya tidak bernasib sama seperti ayah. Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan kumpulkanlah kami kembali di surgamu.

Lamunanku buyar, ketika seorang bapak-bapak tua yang dipapah oleh anaknya masuk kepekarangan rumahku dan menuju tempat praktekku. Aku berniat dalam hati, akan menjalankan profesi dokter ini dengan ikhlas karena Allah dan mudah-mudahan aku mendapatkan Kebahagian Dunia dan Akhirat begitu juga dengan ayahku, amin.

“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al Maidah [5] : 32).