Sabtu, 03 Juli 2010

CACAT MENTAL DAKWAH


Hudzaifah.org - Idealnya, kondisi umat bisa diperbaiki dengan dakwah. Seperti sering diibaratkan orang, da’i adalah dokter dan umat adalah pasiennya. Namun apa jadinya sang pasien, jika sang dokter salah dalam melakukan pengobatan. Alih-alih medapatkan kesembuhan, malah sakit bertambah parah.

Demikian halnya dalam dunia dakwah. Kesalahan yang dilakukan para da’i menyebabkan dakwah tidak mencapai tujuannya. Salah satu bentuk kesalahan tersebut adalah bila di dalam kancah dakwah berkembang penyakit mental. Di antara penyakit-penyakit mental (ma’nawiyah) dalam dakwah itu adalah:

Pertama, sikap infialiyyah (reaksioner).

Sebuah gerakan dakwah bisa dikategorikan reaksioner jika segala gerakannya tidak berangkat dari tujuan dan sasaran yang jelas; tidak berdasarkan tahapan-tahapan yang jelas, dan tidak menggariskan langkah-langkah yang jelas. Sehingga semua manuvernya tidak lebih dari reaksi terhadap kondisi sesaat yang muncul atau terhadap isu yang dianggap aktual. Dengan kata lain dakwah yang infi’aliyyah adalah dakwah yang tidak berpijak pada manhaj (jalan, sistem) yang jelas. Padahal Allah SWT telah menegaskan pentingnya manhaj yang jelas itu. "Katakanlah inilah jalanku, aku menyeru ke jalan Allah dengan pandangan yang jelas (bashirah)." (Yusuf 108)

Akibatnya, gerakan dakwah terkesan ngawur alias tak tentu arah. Energi dakwah terkuras untuk merespon berbagai kasus, peristiwa, perkembangan politik, atau problem sosial yang fenomenal. Sementara itu, permasalahan umat yang sesungguhnya terabaikan.

Ini bukan berarti gerakan dakwah tidak perlu merespon permasalahan fenomenal. Sebab, pada dasarnya gerakan dakwah memang dituntut mampu merespon bahkan mencari solusi bagi permasalahan yang muncul dalam kehidupan. Misalnya masalah korupsi, kerusuhan, dan masalah-masalah sosial lainnya. Akan tetapi dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang harus ditegaskan. Pertama, berdasarkan paradigma Islam, segala problema kemasyarakatan maupun individual muncul akibat jauhnya manusia dari aqidah Islam dan syari’at Islam. Kedua, karena itu harus ada gerakan yang integral dan simultan untuk membenahi aqidah umat dan menumbuhkan keberpihakan terhadap syari’at Islam.

Harus dipahami, Islamisasi kehidupan bukanlah sekedar membuat umat Islam melakukan shalat, puasa, haji, wirid, dan ritual lainnya. Sayangnya, justru corak pemahaman parsial macam itulah yang amat digandrungi oleh para penjajah dan kaum bermental penjajah dari bangsa sendiri. Sebab Islam dalam bentuknya yang ritual (sebagian orang menyebutnya agak keren sebagai “Islam kultural”) itu adalah Islam yang mudah ditaklukan dan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Untuk itulah orang-orang yang bermental penjajah itu senantiasa memberikan PR-PR kepada umat Islam agar terjebak dengan isu-isu sesaat. Akibatnya isu-isu abadi berupa pembinaan aqidah dan pemahaman akan keutuhan Islam tak tersentuh secara memadai.

Kedua, membangun figuritas (wijahiyyah).

Islam mengajarkan ketaatan tapi melarang taqlid buta; memerintahkan kesetiaan tapi mengharamkan kultus individu; mewajibkan penghormatan terhadap orang yang layak mendapatkannya namun mencela figuritas.

Telah banyak kericuhan yang terjadi pada umat ini akibat sikap figuritas ini. Bayangkan, seseorang menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu bukan disampaikan oleh orang yang dia figurkan. Dan menerima segala apa yang disampaikan oleh orang yang menjadi figurnya, betapa pun nyata-nyata salah menurut standar Qur’an dan Sunnah.

Figuritas dapat memunculkan tradisi taqlid (sikap membebek). Sikap yang kemudian berkembang adalah kecintaan kepada tokoh, bukan kepada Islam. Berjuang karena figur, bukan keikhlasan. Pada waktu bersamaan, pembelaan terhadap Islam melemah. Hal ini menjelaskan pertanyaan, "Mengapa tokoh yang jelas salah dan menyimpang dari Islam terus dibela dengan berbagai alasan. Saat ada ancaman besar terhadap Islam banyak orang tidak bereaksi. Namun, ketika orang yang diidolakannya mendapatkan kritikan, ia membela mati-matian?"

Islam memerintahkan agar kita taat kepada Rasulullah saw. Pada waktu bersamaan Allah juga memerintahkan, agar pengorbanan dan perjungan dilakukan karena Allah SWT, bukan karena Rasulullah saw. Ini ditegaskan dalam Al-Quran, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya rasul-rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang (murtad)." (Ali Imaran 144)

Ayat itu pula yang dibacakan Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika menghadapi Umar Bin Khattab yang tidak percaya akan wafatnya Rasulullah SAW sehingga mengatakan, "Barang siapa yang mengatakan Muhammad telah meninggal akan saya penggal lehernya." Itu semua menegaskan kepada kita bahwa dalam beramal, berkorban dan berjuang, hanya Allah yang menjadi tujuan. Jika Allah SWT mengecam orang yang berjihad dan ber-Islam karena Rasulullah SAW, maka lebih buruk lagi orang yang berjuang karena manusia biasa. Yang paling buruk adalah orang yang menggunakan dakwah untuk membangun figuritas diri, bukan loyalitas kepada kebenaran.

Ketiga, merasa paling hebat (Itizaziyyah).

Dakwah seharusnya mengarahkan orang pada sikap tawadhu’ (rendah hati). Apabila seorang da’i dari awal merasa paling hebat dan dakwahnya paling benar, bukan sikap tawadhu’ yang akan tumbuh. Boleh jadi yang subur adalah sikap sombong dan takabbur serta memandang orang lain dan gerakan dakwah lain tidak ada artinya.

Perasaan selalu nomor satu adalah penyakit yang ditularkan iblis. Iblis merasa hebat dengan sesuatu yang sebetulnya bukan parameter kehebatan. "Aku lebih darinya (Adam). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah," ujar iblis saat Allah bertanya tentang alasannya tidak mau sujud kepada Adam.

Refleksi I’tizaziyyah dalam dakwah muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk yang sering muncul adalah keengganan menjalin kerja sama dalam proyek dakwah. Bahkan merasa bisa melakukan da’wah sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang juga sering muncul adalah klaim kebenaran mutlak untuk diri dan kelompok sendiri serta kesalahan mutlak untuk orang lain. Sering kali dalam bentuk pengkaplingan negeri akhirat. Yang mengikutinya "ditempatkan" di sorga. Dan yang tidak mendukungnya ia "masukkan" ke neraka. Seolah ia telah dititipi kunci surga oleh Allah swt.

Keempat, sikap merendahkan dan menafikan orang lain (intiqashiyyah).

Bagaikan dua sisi mata uang, bangga dengan diri sendiri selalu bersanding dengan sikap merendahkan orang lain. Jika ini yang berkembang ada dua kemungkinan yang muncul jika melihat keberhasilan orang lain. Pertama, dengki, dan kedua menafikan keberhasilah itu.

Dengki maupun sikap menutup mata terhadap keberhasilan yang dicapai orang pada dasarnya sama: tidak mensyukuri karunia Allah, karena karunia itu bukan turun kepada dirinya. "Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yunus: 58)

Akankah da’wah seperti itu mampu menyelesaikan berbagai persoalan umat? Rasanya sulit. Problematika umat dewasa ini amat kompleks. Paling tidak, ada dua kebutuhan utama sebagai syarat untuk menyelesaikan segala persoalan umat. Pertama, adanya kerjasama (amal jama’i) antar da’i dan kelompok dakwah. Kedua, terciptanya kondisi masyarakat yang mempunyai kesadaran dan wawasan Islam yang memadai. Wawasan Islam yang dimaksud termasuk pemahaman secara utuh tentang Islam yang syamil (integral).

Namun, bagaimana mungkin terjalin amal jamai yang harmonis, saling menguntungkan dan penuh ukhwah jika terdapat I’tizaziyyah dan intiqashiyyah. Mungkinkah masyarakat akan sampai pada tingkat pemahaman yang baik jika mereka tidak diajak untuk menyelami keutuhan Islam, akibat terjebak dengan fenomena dan isu temporer. Masih beruntung kalau dakwah sekedar dianggap gagal menjalankan misinya. Yang ironis jika dakwah justru dituduh menambah ruwetnya persoalan. Nah!



Taujih ini di unduh dengan sedikit pengeditan, dari hudzaifah.org
Semoga bermanfaat dan diambil hikmahnya ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar