Kamis, 31 Maret 2011
Kamis, 30 September 2010
Warisan Indah dari Imam Hasan Al Bashri
Selasa, 21 September 2010
Sampaikan maafku pada adam
Oke, sekarang aku mau Copas (Copy Paste) aja dari FB seseorang http://www.facebook.com/album.php?aid=2058336&id=1352052477&fbid=1392248490209
Selamat membaca, semoga bermanfaat............... ^_^
Dengarlah permohonan maafku..
Maaf atas segala salah yg telah ku lakukan padamu.
Kau bertanya, salahku apa? Ketahuilah, ku mempunya bgt bnyak salah padamu..
Maaf untuk apa katamu?
Sabtu, 03 Juli 2010
CACAT MENTAL DAKWAH
Demikian halnya dalam dunia dakwah. Kesalahan yang dilakukan para da’i menyebabkan dakwah tidak mencapai tujuannya. Salah satu bentuk kesalahan tersebut adalah bila di dalam kancah dakwah berkembang penyakit mental. Di antara penyakit-penyakit mental (ma’nawiyah) dalam dakwah itu adalah:
Pertama, sikap infi’aliyyah (reaksioner).
Sebuah gerakan dakwah bisa dikategorikan reaksioner jika segala gerakannya tidak berangkat dari tujuan dan sasaran yang jelas; tidak berdasarkan tahapan-tahapan yang jelas, dan tidak menggariskan langkah-langkah yang jelas. Sehingga semua manuvernya tidak lebih dari reaksi terhadap kondisi sesaat yang muncul atau terhadap isu yang dianggap aktual. Dengan kata lain dakwah yang infi’aliyyah adalah dakwah yang tidak berpijak pada manhaj (jalan, sistem) yang jelas. Padahal Allah SWT telah menegaskan pentingnya manhaj yang jelas itu. "Katakanlah inilah jalanku, aku menyeru ke jalan Allah dengan pandangan yang jelas (bashirah)." (Yusuf 108)
Akibatnya, gerakan dakwah terkesan ngawur alias tak tentu arah. Energi dakwah terkuras untuk merespon berbagai kasus, peristiwa, perkembangan politik, atau problem sosial yang fenomenal. Sementara itu, permasalahan umat yang sesungguhnya terabaikan.
Ini bukan berarti gerakan dakwah tidak perlu merespon permasalahan fenomenal. Sebab, pada dasarnya gerakan dakwah memang dituntut mampu merespon bahkan mencari solusi bagi permasalahan yang muncul dalam kehidupan. Misalnya masalah korupsi, kerusuhan, dan masalah-masalah sosial lainnya. Akan tetapi dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang harus ditegaskan. Pertama, berdasarkan paradigma Islam, segala problema kemasyarakatan maupun individual muncul akibat jauhnya manusia dari aqidah Islam dan syari’at Islam. Kedua, karena itu harus ada gerakan yang integral dan simultan untuk membenahi aqidah umat dan menumbuhkan keberpihakan terhadap syari’at Islam.
Harus dipahami, Islamisasi kehidupan bukanlah sekedar membuat umat Islam melakukan shalat, puasa, haji, wirid, dan ritual lainnya. Sayangnya, justru corak pemahaman parsial macam itulah yang amat digandrungi oleh para penjajah dan kaum bermental penjajah dari bangsa sendiri. Sebab Islam dalam bentuknya yang ritual (sebagian orang menyebutnya agak keren sebagai “Islam kultural”) itu adalah Islam yang mudah ditaklukan dan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Untuk itulah orang-orang yang bermental penjajah itu senantiasa memberikan PR-PR kepada umat Islam agar terjebak dengan isu-isu sesaat. Akibatnya isu-isu abadi berupa pembinaan aqidah dan pemahaman akan keutuhan Islam tak tersentuh secara memadai.
Kedua, membangun figuritas (wijahiyyah).
Islam mengajarkan ketaatan tapi melarang taqlid buta; memerintahkan kesetiaan tapi mengharamkan kultus individu; mewajibkan penghormatan terhadap orang yang layak mendapatkannya namun mencela figuritas.
Telah banyak kericuhan yang terjadi pada umat ini akibat sikap figuritas ini. Bayangkan, seseorang menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu bukan disampaikan oleh orang yang dia figurkan. Dan menerima segala apa yang disampaikan oleh orang yang menjadi figurnya, betapa pun nyata-nyata salah menurut standar Qur’an dan Sunnah.
Figuritas dapat memunculkan tradisi taqlid (sikap membebek). Sikap yang kemudian berkembang adalah kecintaan kepada tokoh, bukan kepada Islam. Berjuang karena figur, bukan keikhlasan. Pada waktu bersamaan, pembelaan terhadap Islam melemah. Hal ini menjelaskan pertanyaan, "Mengapa tokoh yang jelas salah dan menyimpang dari Islam terus dibela dengan berbagai alasan. Saat ada ancaman besar terhadap Islam banyak orang tidak bereaksi. Namun, ketika orang yang diidolakannya mendapatkan kritikan, ia membela mati-matian?"
Islam memerintahkan agar kita taat kepada Rasulullah saw. Pada waktu bersamaan Allah juga memerintahkan, agar pengorbanan dan perjungan dilakukan karena Allah SWT, bukan karena Rasulullah saw. Ini ditegaskan dalam Al-Quran, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya rasul-rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang (murtad)." (Ali Imaran 144)
Ayat itu pula yang dibacakan Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika menghadapi Umar Bin Khattab yang tidak percaya akan wafatnya Rasulullah SAW sehingga mengatakan, "Barang siapa yang mengatakan Muhammad telah meninggal akan saya penggal lehernya." Itu semua menegaskan kepada kita bahwa dalam beramal, berkorban dan berjuang, hanya Allah yang menjadi tujuan. Jika Allah SWT mengecam orang yang berjihad dan ber-Islam karena Rasulullah SAW, maka lebih buruk lagi orang yang berjuang karena manusia biasa. Yang paling buruk adalah orang yang menggunakan dakwah untuk membangun figuritas diri, bukan loyalitas kepada kebenaran.
Ketiga, merasa paling hebat (I’tizaziyyah).
Dakwah seharusnya mengarahkan orang pada sikap tawadhu’ (rendah hati). Apabila seorang da’i dari awal merasa paling hebat dan dakwahnya paling benar, bukan sikap tawadhu’ yang akan tumbuh. Boleh jadi yang subur adalah sikap sombong dan takabbur serta memandang orang lain dan gerakan dakwah lain tidak ada artinya.
Perasaan selalu nomor satu adalah penyakit yang ditularkan iblis. Iblis merasa hebat dengan sesuatu yang sebetulnya bukan parameter kehebatan. "Aku lebih darinya (Adam). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah," ujar iblis saat Allah bertanya tentang alasannya tidak mau sujud kepada Adam.
Refleksi I’tizaziyyah dalam dakwah muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk yang sering muncul adalah keengganan menjalin kerja sama dalam proyek dakwah. Bahkan merasa bisa melakukan da’wah sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang juga sering muncul adalah klaim kebenaran mutlak untuk diri dan kelompok sendiri serta kesalahan mutlak untuk orang lain. Sering kali dalam bentuk pengkaplingan negeri akhirat. Yang mengikutinya "ditempatkan" di sorga. Dan yang tidak mendukungnya ia "masukkan" ke neraka. Seolah ia telah dititipi kunci surga oleh Allah swt.
Keempat, sikap merendahkan dan menafikan orang lain (intiqashiyyah).
Bagaikan dua sisi mata uang, bangga dengan diri sendiri selalu bersanding dengan sikap merendahkan orang lain. Jika ini yang berkembang ada dua kemungkinan yang muncul jika melihat keberhasilan orang lain. Pertama, dengki, dan kedua menafikan keberhasilah itu.
Dengki maupun sikap menutup mata terhadap keberhasilan yang dicapai orang pada dasarnya sama: tidak mensyukuri karunia Allah, karena karunia itu bukan turun kepada dirinya. "Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yunus: 58)
Akankah da’wah seperti itu mampu menyelesaikan berbagai persoalan umat? Rasanya sulit. Problematika umat dewasa ini amat kompleks. Paling tidak, ada dua kebutuhan utama sebagai syarat untuk menyelesaikan segala persoalan umat. Pertama, adanya kerjasama (amal jama’i) antar da’i dan kelompok dakwah. Kedua, terciptanya kondisi masyarakat yang mempunyai kesadaran dan wawasan Islam yang memadai. Wawasan Islam yang dimaksud termasuk pemahaman secara utuh tentang Islam yang syamil (integral).
Namun, bagaimana mungkin terjalin amal jamai yang harmonis, saling menguntungkan dan penuh ukhwah jika terdapat I’tizaziyyah dan intiqashiyyah. Mungkinkah masyarakat akan sampai pada tingkat pemahaman yang baik jika mereka tidak diajak untuk menyelami keutuhan Islam, akibat terjebak dengan fenomena dan isu temporer. Masih beruntung kalau dakwah sekedar dianggap gagal menjalankan misinya. Yang ironis jika dakwah justru dituduh menambah ruwetnya persoalan. Nah!
9 ENERGI POSITIF...
Janganlah berpecah belah, kita semua bersaudara.
Janganlah merasa lebih, sesama kita.
Mengapa kau patahkan pedangmu sehingga musuh mampu membobol bentengmu.
Seorang ustadz berkisah tentang dua orang akhwat yang sangat tangguh dan berkualitas di jalan da’wah. Mereka ada dalam “satu kandang” da’wah. Namun sangat disayangkan, hal itu justru menimbulkan persaingan da’wah yang tidak sehat di antara mereka. Futur melanda, situasi “panas” dan akhirnya seorang dari mereka melepas jilbabnya dan yang lainnya, hengkang dari jalan da’wah. Kekecewaan sangat mendalam, hingga berguguranlah mereka dari jalan yang mulia ini.
“Ana tidak mau ikut-ikut (da’wah-red) lagi, habis adik-adiknya susah diatur!”, ucap seorang kader senior yang mendapat amanah sebagai mas’ul sebuah departemen lembaga da’wah. Ia memutuskan untuk tidak mau terlibat lagi dalam pergerakan dawah. Ia mengaku kesal, kecewa dan jera dengan sikap adik-adik kampus yang “bandel” alias tidak taat pada perintahnya dan sering protes kepadanya. Kini ia berjalan sendiri di tengah dunia hedon, keluar dari lingkaran dawah. Ia merasa “menang” dengan tindakannya itu karena ia beranggapan bahwa dengan demikian, lembaga dawah telah kehilangan satu kadernya.
Di sebuah pengajian rutin, dua orang ikhwan dalam kondisi perang dingin. Bila yang satu datang, yang lain pasti tak mau datang hingga muncul motto, “Tidak boleh ada dua singa dalam satu kandang.”
Sebab-Sebab Kekecewaan
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Kekecewaan dapat muncul karena ada keinginan yang tidak terpenuhi, tak terpuaskan. Kecewa yang kita bicarakan adalah kecewa di jalan dawah. Kekecewaan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dan penyebab kekecewaan yang seringkali terjadi adalah:
Pertama, kekecewaan aktivis karena jengah melihat jurang yang dalam antara idealisme dan realitas, antara ilmu dan amal. Sebagai contoh, sang aktivis membaca shirah nabawiyah yang di dalamnya dikisahkan bagaimana indahnya ukhuwah sang nabi dan para sahabat, pun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.”Tapi realitanya, ukhuwah itu tidak ia dapatkan di lapangan, justru sebaliknya.
Kedua, kekecewaan akitivis yang lebih dilandasi hawa nafsu dan tipu daya syetan, karena tidak tercapainya ambisi pribadi. Contoh ambisi pribadi itu adalah, ingin menjadi pemimpin, ingin kata-katanya selalu didengar, ingin pendapatnya harus diterima, pun tidak mau menerima nasehat dari yang ia anggap “lebih rendah” dan merasa diri paling berjasa dengan motto, Kalau bukan karena ane, ngga bakal jalan dawah ini.”
Ketiga, kekecewaan aktivis karena tidak puas dengan kebijakan-kebijakan qiyadah (pemimpin), keputusan syuro, kondisi dawah yang selalu dibebankan padanya dan manajemen lembaga dawah.
Feed Back Positif dan Negatif
Tak ada manusia yang tak pernah kecewa karena sesungguhnya kecewa itu manusiawi. Hanya saja, feed back dari kekecewaan itu berbeda pada diri setiap orang. Ada orang-orang yang mampu mengatasi dan mengubah kekecewaan itu dengan energi positif yang konstruktif, namun ada juga orang-orang yang tidak mampu mengatasinya karena lebih didominasi energi negatif yang desdruktif.
Kekecewaan tak lagi syari bila didasari hawa nafsu, dan bukan atas dasar kebenaran (al haq). Tak lagi rasional bila kemudian berubah menjadi kedengkian dan kebencian yang menghancurkan diri sendiri dan memporak-porandakan teman-teman di sekelilingnya, menjadi duri dalam daging. Maka motto yang sebaiknya ada dalam diri kita adalah, “Jangan terlalu banyak menuntut, jadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain.”
9 Energi Positif
Ada sembilan energi postif yang dapat menjadi bahan bakar di dalam jiwa untuk mengatasi kekecewaan yang melanda, yaitu:
1. Tentara terdepanmu adalah keikhlasan
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan..” (QS. An Nisaa: 125)
Meminjam istilah dari sebuah artikel, Tentara Terdepanmu adalah Keikhlasan. Istilah ini sangat tepat karena memang keikhlasan adalah garda terdepan kita untuk menghadapi segala rintangan di jalan dawah. Keikhlasan membuat kita tak kenal lelah dan tak kenal henti dalam menyampaikan Al Haq karena tujuan kita hanya satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika tujuan kita menyimpang kepada yang sifatnya duniawi, maka saat tujuan itu tak tercapai, kita akan mudah kecewa dan berbalik ke belakang. Bila berdawah lantaran mengharapkan apa-apa yang ada pada manusia, berupa penghormatan, penghargaan, pengakuan eksistensi diri, popularitas, jabatan, pengikut dan pujian, maka hakekatnya kita telah berubah menjadi hamba manusia, bukan lagi hamba Allah Subhanahu wa Taala.
Kisah yang sangat menarik ketika Khalid bin Walid selaku panglima perang yang notabene sangat berjasa bagi kaum muslimin, tiba-tiba diturunkan jabatannya menjadi prajurit biasa, oleh Khalifah Umar bin Khattab. Namun Umar melakukan itu karena melihat banyaknya kaum muslimin yang mengelu-elukan kepahlawanan dan cenderung mengkultuskan Khalid, sehingga Umar khawatir hal itu akan membuat Khalid menjadi ujub (bangga diri), yang dapat berakibat hilangnya pahala amal-amal Khalid di hadapan Allah Subhanahu Wa Taala. Dan subhanallah., Khalid tidak marah ataupun kecewa karena jabatannya diturunkan, bahkan ia tetap turut berperang di bawah komando pimpinan yang baru. Ketika ditanya tentang hal itu, Khalid menjawab dengan tenang, “Aku berperang karena Allah Subhanahu wa Taala, bukan karena Umar. “
2. Harus Tahan Beramal Jamai
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada Tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Ali Imran: 103)
Beramal jamai itu jalannya tak selalu datar, ada kalanya mendaki, karena dalam beramal jamai, kita akan menemui berbagai macam sifat manusia, berbagai pemikiran, fitnah dari luar, pun dari dalam. Namun bagaimanapun buruknya kondisi jamaah, tetap saja amal jamai itu lebih baik dan lebih utama daripada sendirian. Ali bin Abi Thalib berkata, “Keruhnya amal jamai, lebih aku sukai daripada jernih sendirian.
Kekuatan utama kita adalah persatuan kaum muslimin. Sesungguhnya kekalahan kita saat ini bukanlah karena kehebatan bersatunya kaum kuffar, tetapi karena tidak bersatunya kaum muslimin. “Kejahatan yang terorganisir akan mampu mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.”
Orang-orang yang memisahkan diri dan lari dari barisan dawah, sesungguhnya tidak akan membuat barisan dawah itu melemah atau kehilangan kader, justru barisan itu akan semakin solid dan kokoh karena mengindikasikan yang tergabung di dalamnya, tinggallah orang-orang yang teruji memiliki jiwa-jiwa pemersatu. Inilah sebuah sunnatullah yang senantiasa berlaku untuk membedakan antara loyang dan emas. Jadi, kita harus tahan beramal jamai !
3. Bermanfaat bagi orang lain
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”(HR. Qudhy dari Jabir).
Bila kita melihat ukhuwah dalam barisan dawah ternyata belum seindah seperti shirah yang kita baca, atau ternyata hijab di lembaga dawah amat cair, maka adalah sangat wajar bila kita kecewa. Tetapi kekecewaan itu janganlah dipelihara, jangan justru membuat kita bersungut-sungut, menuntut lebih, berkeluh kesah, apa lagi sampai memisahkan diri dari barisan. Mari ubah sudut pandang, dan kita tekankan bahwa segala kekurangan yang ada pada barisan dawah adalah justru menjadi kewajiban kita untuk membenahinya. “Jangan banyak menuntut, jadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain.”
4. Penuhi hak sesama muslim
- Saling menasehati. (QS. Al Ashr: 1-3)
Kekurangan dalam diri qiyadah, jundi, lembaga, manajemen, hendaknya disampaikan dalam bentuk nasehat. Untuk yang sifatnya pribadi - sebagai adab nasehat- adalah disampaikan tidak dalam forum, tetapi disampaikan pribadi, berdua saja, dalam rangka saling berpesan untuk nasehat menasehati dalam menetapi kesabaran. Karena bila kita memberi nasehat dihadapan orang banyak, maka itu sama saja dengan membuka aibnya dan menjatuhkannya, apalagi bila sampai melakukan sidang layaknya menghakimi terdakwa. Sangatlah tipis perbedaan antara orang yang ingin menasehati karena landasan kasih sayang, dengan orang yang menasehati karena sekaligus ingin membuka aib saudaranya, sehingga membuat diri yang dinasehati seakan lebih rendah, dari yang menasehati.
- Lemah lembut. Allah Subhanahu wa Taala berfirman tentang salah satu ciri jundullah (tentara Allah), yaitu “yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mumin” (QS. Al Maidah: 54)
- Jangan dengki. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda, Takutlah kamu semua akan sifat dengki sebab sesungguhnya dengki itu memakan segala kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.(Riwayat Abu Daud dari Abi Hurairah)
- Jangan suudzon. Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (QS. Al Hujuurat: 12)
- Berendah Hatilah. Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.(QS. An Naml: 215)
- Jangan Berbantahan
Allah Subhanahu wa Taala berfirman, ..dan Janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menjadikan kamu gentar, dan hilang kekuatanmu (QS. Al Anfaal:46). Berbantah-bantahan sesama kita, padahal musuh di luar, sudah siap menerkam.
5. Musuh terbesar kita adalah syetan
Musuh kita bukanlah seorang muslim, apa lagi sesama aktivis. Musuh terbesar kita adalah iblis dan bala tentaranya. Mereka senantiasa akan merusak ukhuwah kita dari kiri, kanan, depan, dan belakang (QS. Al Araf: 17). Hendaknya kita senantiasa ingat akan janji iblis untuk menyesatkan hamba-hamba-Nya (QS. Al Israa:62). Ini akan menjadi landasan kita untuk selalu menatap saudara kita dengan penuh kasih sayang karena boleh jadi saat saudara kita menyakiti kita, adalah lantaran banyaknya syetan di sekelilingnya yang terus menerus membisikinya untuk membenci kita, demikian pula sebaliknya, bisa jadi syetan menghembuskan prasangka-prasangka di dalam benak kita. Maka, mari kita jadikan syetan sebagai musuh bersama.
6. Sukses dawah bukanlah karena kehebatan kita
Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Maka, bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka. Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (Al Anfl: 1)
Ayat ini menyatakan bahwa kemenangan dalam medan peperangan, pun dalam suksesnya dawah, bukanlah karena kepintaran kita dalam membuat strategi dawah, tetapi tak lebih karena pertolongan dari Allah. Jika tidak, maka apa bedanya kita dengan Qarun yang berkata, Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku (QS. Al Qashash:78). Dan kita lihat bagaimana ending kehidupan dari Qarun yang ditenggelamkan Allah Subhnahu wa Taala ke perut bumi.
7. Mujahid itu teman kita sendiri
Mujahid dan mujahidah itu sesungguhnya ada di sekeliling kita, di dekat kita. Ya, bisa jadi mereka adalah teman-teman kita sendiri. Maka sangat aneh bila kita kerap kali menitikkan air mata saat ingat mujahid-mujahid di Palestina, Iraq, Chechnya, Afghanistan, dan lain-lain, tetapi dengan saudara-saudara mujahid di sesama lembaga saja, kita tidak bisa berlapang dada.
8. Ingat Kematian
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda, Perbanyaklah kalian mengingat mati, sebab seorang hamba yang banyak mengingat mati, maka Allah akan menghidupkan hatinya, dan Allah akan meringankan baginya rasa sakit saat kematian.
9. Doakan di shalat malam kita
Doa adalah senjata orang-orang beriman dan bila kita mendoakan saudara muslim kita tanpa sepengetahuannya, maka para malaikat akan berkata, “untuk kamu juga”. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda, "Tidak seorang Muslim pun mendoakan kebaikkan bagi saudaranya sesama Muslim yang berjauhan melainkan malaikat mendoakannya pula. Mudah-mudahan engkau beroleh kebaikkan pula." (HR. Muslim)
Penutup
Menyatakan diri sebagai orang beriman, sebagai seorang duat (pengemban dawah), sebagai seorang aktivis dawah, sesungguhnya mengandung konsekuensi yang tidak ringan. Yaitu kita senantiasa akan mendapat ujian keimanan dari sang pemilik 99 Al Asmaul Husna. Allah Subhanahu wa Taala berfirman, Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara Kamu (QS. 9:16). Dan di surat lainnya, Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta macam-macam cobaan." (QS. Al-Baqarah:214)
Tersenyumlah dalam duka dan tenanglah dalam suka. Insya Allah dengan mengingat sembilan energi positif, akan membuat kita bersabar, dan enggan berpisah dari jalan dawah ini. “Dan janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 139).
Jumat, 18 Juni 2010
An Nissa', Surat ke-4 (bag.2)
An Nissa', Surat ke-4 (bag.1)
Sabtu, 12 Juni 2010
Sepucuk Surat dari SETAN...
Hai manusia yang tersayang...!
Tadi malam waktu akan tidur, aku lihat engkau tidak memuji Tuhan, tidak membaca Do'a, tidak sholat. Ini bagus sekali karena waktu akan tidur adalah waktu untuk tidur, bukan untuk mengingat Tuhan.
Sesungguhnya engkau tidak membuang-buang waktu. Pagi ini aku lihat engkau tidak berdoa setelah bangun. Bagus sekali!!! Engkau telah membuktikan bahwa engkau adalah sahabatku yang budiman. Janganlah engkau susah-susah bangun dan memendekkan tidur. Tidurlah dengan nyenyak dan nyaman. Jangan hiraukan suara ayam berkokok yang mengejutkan engkau dari tidurmu. Bila subuh datang menjelang, udara masih dingin, tariklah selimutmu dan tidurlah sayangku seperti puteri kayangan.
Aku lihat engkau jarang-jarang mengambil air Wudhlu dan bangun tengah malam untuk bermunajat pada Tuhan. Ini bagus sekali karena engkau tidak membazirkan pikiran dan tidak mengurangi waktumu. Aku lihat engkau tak pernah mengucap do'a waktu mau makan n mengucap syukur sewaktu selesai makan. Ini bagus, karena engkau tidak memenatkan mulutmu. Dan bila sudah kenyang, engkau tak pernah menyebut "thanks God, Alhamdulillah". Ini bagus juga..
Semalam ada seorang peminta sedekah datang ke rumahmu. Engkau menghalau dia suruh pergi tanpa engkau memberikan uang sesen ataupun seteguk air. Ini sangat bagus dan terpuji, karena engkau tidak membuang-buang uang dan tak membazirkan rezekimu yang melimpah-ruah yang diberi Tuhan kepadamu. Engkau seorang yang cerdas mengatur keuangan. Biarlah rezeki engkau untuk kegunaan engkau seorang, berholiday dan membeli kemewahan- kemewahan dunia. Aku lihat bila engkau bertemu dengan sahabat handaimu, engkau tidak mengucapkan salam. Engkau mengucapkan "What's up brow!" Ini bagus juga karena engkau menunjukkan bahwa engkau mengerti bahasa Inggris.
Engkau telah membuktikan bahwa engkau dan aku adalah sahabat sejati. Sudah tentu engkau adalah seorang yang budiman kepada kaumku. Di akhirat nanti, engkau dan aku dapat berjalan bersama-sama ... . kita berpegang-tangan ... menuju Neraka. wkkk wkk hahaaaahaaaaa
Mudah-mudahan tak pernah mendapatkan surat seperti ini, amien.........
Semoga bermanfaat ^_^
Di unduh dari Blog Kak Yaya
Selasa, 04 Mei 2010
Arti Bacaan Sholat
Takbir
Takbiratul Ihram ---> ALLAAHU AKBAR (Allaah Maha Besar)
Allaahu akbar kabiira, walhamdulillaahi katsiira, wa subhanallaahi bukrataw, waashiila.
(Allah Maha Besar, dan Segala Puji yang sangat banyak bagi Allah, dan Maha Suci Allah sepanjang pagi, dan petang).
Innii wajjahtu wajhiya, lillazii fatharassamaawaati walardha, haniifam, muslimaa, wamaa ana minal musrykiin.
(Sungguh aku hadapkan wajahku kepada wajahMu, yang telah menciptakan langit dan bumi, dengan penuh kelurusan, dan penyerahan diri, dan aku tidak termasuk orang-orang yang mempersekutuan Engkau/Musryik)
Innasshalaatii, wa nusukii, wa mahyaaya, wa mamaati, lillaahi rabbil 'aalamiin.
(Sesungguhnya shalatku, dan ibadah qurbanku, dan hidupku, dan matiku, hanya untuk Allaah Rabb Semesta Alam).
Laa syariikalahu, wabidzaalika umirtu, wa ana minal muslimiin.
(Tidak akan aku menduakan Engkau, dan memang aku diperintahkan seperti itu, dan aku termasuk golongan hamba yang berserah diri kepadaMu)
Adapun Rasulullaah ketika membaca surah Al-Faatihah senantiasa satu napas per satu ayatnya, tidak terburu-buru, dan benar-benar memaknainya. Surah ini memiliki khasiat yang sangat tinggi sekali. Bahkan Ibn Qayyim Al-Jauziyyah sampai menuliskan makna iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin, dalam satu kitabnya yang berjudul Madarijus Saalikin, dimana beliau bercerita ketika di suatu kota ia menderita sakit, maka ia membacanya per ayat dengan sungguh-sungguh, dan ia rasakan bahwa setiap selesai satu ayat dibacanya, terasa berguguran sakit yang dirasakannya. Subhaanallaah.
Mari kita hafal terlebih dahulu arti per ayatnya sebelum kita memaknainya.
Bismillaah, arrahmaan, arrahiim (Bismillaahirrahmaanirrahiim)
(Dengan nama Allaah, Maha Pengasih, Maha Penyayang)
Alhamdulillaah, Rabbil 'aalamiin
(Segala puji hanya milik Allaah, Rabb semesta 'alam)
Arrahmaan, Arrahiim
(Maha Pengasih, Maha Penyayang)
Maaliki, yaumiddiin
(Penguasa, Hari Pembalasan/Hari Tempat Kembali)
Iyyaaka, na'budu, wa iyyaaka, nasta'iin
(KepadaMulah, kami menyembah, dan kepadaMulah, kami mohon pertolongan)
Ihdina, asshiraathal, mustaqiim ---> berharaplah dengan penuh harap ketika membacanya.
(Tunjuki kami, jalan, golongan orang-orang yang lurus)
Shiraath, alladziina, an'am, ta 'alayhim
(Jalan, yang, telah Engkau beri ni'mat, kepada mereka)
Ghayril maghduubi 'alaihim, wa laddhaaaalliiin.
(Bukan/Selain, (jalan) orang-orang yang telah Engkau murkai, dan bukan (jalan) orang-orang yang sesat)
Melanjutkan tulisan yang ketiga, maka setelah membaca Surah Al-Faatihah, maka hendaknya kita membaca ayat-ayat Al-Qur'an.
Ruku'
Lalu ruku', dimana ketika ruku' ini Beliau mengucapkan bermacam-macam dzikir dan do'a. Kadangkala beliau mengucapkan yang ini dan kadangkala mengucapkan yang itu :
1. Subhaana, rabbiyal, 'adzhiimi.
(Maha Suci, Tuhanku, Yang Maha Agung)
---> dzikir ini diucapkan beliau sebanyak tiga kali.
(Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, Ad-Daaruquthni, Al-Bazaar, dan Ath-Thabarani)
---> kadangkala juga beliau membacanya berulang-ulang lebih banyak dari tiga kali, dan sesekali beliau berlebihan dalam mengulanginya ketika shalat lail (malam), sehingga lama ruku'nya hampir mendekati lama berdirinya.
2. Subbuuhun, qudduus, rabbul malaaikati, warruuh.
(Maha Suci Engkau ya Allaah, Pemberi berkah, Tuhan malaikat, dan ruh) --> Riwayat Muslim
3. Allaahumma, laka raka'at, wa aamantu, wa laka aslamtu,
(Yaa Allaah, kepadaMu, kuserahkan ruku'ku, kepadaMu aku beriman, kepadaMu aku Islam (menyerahkan diri).)
anta rabbiiy, khasa'a laka sam'iiy, wa bashariy, wa mukhyii, wa 'adzhomii, wa fii riwaayah
(Engkau Tuhanku, KepadaMulah pendengaran, penglihatan, otak, tulang, dan syarafku tunduk)
wa mastaqallat bihi, qadamii, lillaah, rabbil 'aalamiin.
(Dan apa yang dibawa kakiku, kuserahkan, kepada Allaah, Tuhan semesta alam)
(HR. Ad-Dharuquthni)
Memperpanjang Ruku'
Diriwayatkan bahwa : "Rasulullaah Sallallaahu 'alayhi wa sallaam, menjadikan ruku'nya, dan bangkitnya dari ruku', sujudnya, dan duduknya di antara dua sujud hampir sama lamanya." (Hadits Shahih Riwayat Imam Bukhari dan Muslim)
I'tidal
Rasululullaah Sallaahu 'alayhi wa sallaam mengangkat punggungnya dari ruku' sambil mengucapkan, "Mudah-mudahan Allah mendengarkan (memperhatikan) orang yang memujiNya". (Hadits diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Maka ketika kita i'tidal atau bangkit dari ruku, sambil mengangkat kedua tangan sejajar bahu ataupun sejajar telinga, maka kita mengucapkan :
Sami'allaahu, li, man, hamida’hu
(Mudah-mudahan mendengar Allah, kepada, sesiapa yang, memuji, Nya)
"Sesungguhnya imam itu dijadikan hanya untuk diikuti. Oleh karena itu, apabila ia mengucapkan "sami'allaahu liman hamidah", maka ucapkanlah "rabbanaa lakal hamdu", niscaya Allah memperhatikan kamu. Karena Allah yang bertambah-tambahlah berkahNya, dan bertambah-tambahlah keluhuranNya telah berfirman melalui lisan NabiNya saw., "Mudah-mudahan Allah mendengarkan (memperhatikan) orang yang memujiNya".
(Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Ahmad, dan Abu Daud)
Maka mari kita baca :
Rabbanaa, lakal, hamdu
(Yaa Tuhan kami, bagiMulah, segala puji)
Kadangkala lafadzh diatas beliau tambahkan seperti :
mil assamaawaati, wa mil al ardhi, wa mil a maa shikta, min shai in, ba'du
(Sepenuh langit, dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki, dari sesuatu, sesudahnya) Kalimat diatas didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu 'Uwanah)
Sujud
Ketika kita sujud, maka dengan tenang hendaknya kita mengucapkan do'a-do'a sujud seperti yang telah dicontohkan Rasulullaah Sallallaahu 'alayhi wa sallaam.
1. Subhaana, rabbiyal, a'laa
(Maha Suci, Tuhanku, Yang Maha Luhur)
Dzikir ini beliau ucapkan sebanyak tiga kali, dan kadangkala beliau mengulang-ulanginya lebih daripada itu.
2. Subhaana, rabbiyal, a'laa, wa, bihamdi, hi
(Maha Suci, Tuhanku, Yang Maha Luhur, dan, aku memuji, Nya)
3. Subbuuhun, qudduusun, rabbul malaaikati, warruuh
(Maha Suci, Pemberi Berkat, Tuhan malaikat, dan ruh)
Duduk antara dua Sujud
Ketika kita bangun dari sujud, maka hendaklah kita berdo'a sepertinya do'anya Rasulullaah, dan bacalah do'a tersebuh dengan sungguh-sungguh, perlahan-lahan, dan penuh pengharapan kepada Allah Subhaana wa Ta'ala.
Di dalam duduk ini, Rasulullaah Sallallaahu 'alayhi wa sallaam mengucapkan :
Allaahummaghfirlii, warhamnii, wajburnii, warfa'nii, wahdinii, wa 'aafinii, warzuqnii.
(Ya Allaah ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupilah kekuranganku, sehatkanlah aku, dan berilah rizqi kepadaku)
Dari Hadits yang diriwayatkan Muslim, bahwa Rasulullaah saw, kadangkala duduk tegak di atas kedua tumit dan dada kedua kakinya. Beliau juga memanjangkan posisi ini sehingga hampir mendekati lama sujudnya (Al-Bukhari dan Muslim).
Duduk At-Tasyaahud Awal
01. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Abi Syaibah.
Dari Ibn Mas'ud berkata, Rasulullaah saw telah mengajarkan at-tasyaahud kepadaku, dan kedua telapak tanganku (berada) di antara kedua telapak tangan beliau - sebagaimana beliau mengajarkan surat dari Al-Qur'an kepadaku : --->
(Mari dihafalkan setiap katanya sehingga shalat kita lebih mudah untuk khusyuk)
Attahiyyaatulillaah, wasshalawatu, watthayyibaat.
Segala ucapan selamat adalah bagi Allaah, dan kebahagiaan, dan kebaikan.
Assalaamu 'alayka * , ayyuhannabiyyu, warahmatullaah, wa barakaatuh.
Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadamu *, wahai Nabi, dan beserta rahmat Allaah, dan berkatNya.
Assalaamu 'alaynaa, wa 'alaa, 'ibaadillaahisshaalihiiin.
Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kami pula, dan kepada sekalian hamba-hambanya yang shaleh.
Asyhadu, allaa, ilaaha, illallaah.
Aku bersaksi, bahwa tiada, Tuhan, kecuali Allaah.
Wa asyhadu, anna muhammadan, 'abduhu, wa rasuluhu.
Dan aku bersaksi, bahwa muhammad, hambaNya, dan RasulNya.
* Hal ini ketika beliah masih hidup, kemudian tatkala beliau wafat, maka para shahabat mengucapkan :
Assalaamu 'alannabiy.
Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada Nabi.
02. Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu 'Uwanah, Asy-Syafi'i, dan An-Nasa'i.
Dari Ibnu 'Abbas berkata, Rasulullaah telah mengajarkan At-Tasyahhud kepada kami sebagaimana mengajarkan surat dari Al-Qur'an kepada kami. Beliau mengucapkan :
Attahiyyaatul mubaarakaatusshalawaatutthayyibaatulillaah.
Assalaamu 'alayka ayyuhannabiyyu warahmatullaahi wa barakaatuh.
Assalaamu 'alayna wa 'alaa 'ibaadillaahisshaalihiin.
Asyhadu allaa ilaaha illallaah.
Wa asyhadu annaa muhammadarrasuulullaah.
(dalam riwayat lain : Wa asyhadu annaa, muhammadan, 'abduhu, warasuuluh)
--> Artinya sama dengan yang diatas, insha Allaah.
Bacaan shalawat Nabi di akhir shalat
Rasulullaah saw. mengucapkan shalawat atas dirinya sendiri di dalam tasyahhud pertama dan lainnya. Yang demikian itu beliau syari'atkan kepada umatnya, yakni beliau memerintahkan kepada mereka untuk mengucapkan shalawat atasnya setelah mengucapkan salam kepadanya dan beliau mengajar mereka macam-macam bacaan salawat kepadanya.
Berikut kita ambil sebuah hadits yang sudah umum di kita, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Al-Humaidi, dan Ibnu Mandah.
Allaahumma, shalli 'alaa muhammad, wa 'alaa, aali muhammad.
Ya Allaah, berikanlah kebahagiaan kepada Muhammad dan kepada, keluarga Muhammad
Kamaa, shallayta, 'alaa ibrahiim, wa 'alaa, aali ibraahiim.
Sebagaimana, Engkau telah memberikan kebahagiaan, kepada Ibrahim, dan kepada, keluarga Ibrahim.
Innaka, hamiidummajiid.
Sesungguhnya Engkau, Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
Allaahumma, baarik, 'alaa muhammad, wa 'alaa aali muhammad.
Ya Allaah, berikanlah berkah, kepada Muhammad, dan kepada, keluarga Muhammad
Kamaa, baarakta, 'ala ibraahiim, wa 'alaa, aali ibraahiiim.
Sebagaimana, Engkau telah memberikan berkah, kepada ibrahim, dan kepada, keluarga Ibrahim.
Innaka, hamiidummajiid.
Sesungguhnya Engkau, Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
Cara Mengucapkan Salam
Mari kita simak hadits berikut, yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa'i, dan Tirmidzi serta dishahihkan olehnya.
"Rasulullaah saw. mengucapkan salam ke sebelah kanannya :
Assalaamu 'alaykum warahmatullaahi wa barakaatuh
(Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu sekalian serta rahmat Allaah, serta berkatNya), sehingga tampaklah putih pipinya sebelah kanan. Dan ke sebelah kiri beliau mengucapkan : Assalaamu 'alaykum warahmatullaah (Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu sekalian serta rahmat Allaah), sehingga tampaklah putih pipinya yang sebelah kiri."
Perhatikanlah, bahwa ternyata ucapan kita ketika menoleh ke kanan (salam yang pertama) lebih banyak daripada ucapan kita ketika menoleh ke kiri (salam yang kedua).
Atau dalam riwayat lain, ketika salam yang pertama beliau mengucapkan : Assalaamu 'alaykum warahmatullaah, dan pada salam yang kedua beliau mengucapkan : Assalaamu 'alaykum.
Alhamdulillaah, Maha Benar Allaah atas segala FirmanNya. Maka semoga artikel ini menjadikan jalan kemudahan bagi kita di dalam usaha kita berusaha khusyuk dan memahami setiap gerakan yang kita lakukan, sehingga benar-benar memiliki ruh dan nilai yang sulit bagi kita untuk menuangkannya dalam kata-kata, karena begitu nikmatnya shalat itu.
Wallohu 'alam biswb..
Di copy paste dari : mashar cyber world
Senin, 08 Juni 2009
RENUNGKANLAH....
“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang orang yang didoakannya adalah doa yang dikabulkan. Pada kepalanya ada malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata amin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan” (HR. Muslim No.2733)
“Hiduplah bersama Al Quran, baik dengan cara menghafal, membaca, mendengarkan atau merenungkannya. Sebab, ini merupakan obat paling mujarab untuk mengusir kesedihan dan kedukaan… (La Tahzan). Tersenyumlah pagi ini…. Maka pagi ini akan tersenyum padamu… ^_^”
“Ya Allah jagalah saudaraku ini, dikala penjagaanku tak sampai padanya, sayangilah ia, dikala sayangku tak mampu merengkuhnya dalam dekapan nyata, muliakan ia, kala penghargaanku tak terangkum dalam kata-kata yang sahaja. Karena engkau punya segala yang tak ku punya & karena ku ingin dia selalu menjadi saudaraku di dunia dan mengharap bertemu dengannya di jannah Mu… Amin
“Rasulullah bersabda: takutlah kamu sekalian terhadap api neraka walaupun dengan menyerahkan separuh biji korma, dan barang siapa yang tidak mendapatkannya, maka cukup dengan kata-kata yang baik” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Jangan sekali-kali kamu meremehkan sesuatu perbuatan baik, walau hanya menyambut saudaramu dengan muka manis” (HR. Muslim)
-
Artikel terjemahan dari website American Pregnancy Association Artikel asli : http://americanpregnancy.org/pregnancy-health/x-rays-dur...
-
Huah..... udah lama nggak pratikum anatomi. Sekarang adalah pratikum anatomi yang pertama di blok 15 ini. Aroma khas yang menyengat udah te...
-
Assalamualaikum Wr. Wb. Hai ibu-ibu muda cantik, pintar nan sholehah... Gimana kabarnya nih? Masih stres dengan urusan berat badan? P...