Jumat, 15 Mei 2009

AKU BUKAN KARTINI


By: Priska Natalia (07120015)

KARTINI, ya kalau bicara tentang seorang Kartini maka yang terbayang oleh ku adalah seorang perempuan yang berusaha untuk menyelaraskan kedudukan wanita dengan pria. Tapi, aku tercengang, barusan di salah satu program TV aku menonton film dokumenter tentang Kartini. Tak sangka kalau siklus hidup seorang Kartini begitu berat dan penuh tekanan. Mulai dari kecil sampai menjadi istri seorang Bupati. Tekanan demi tekanan selalu disimpan dan dipendamnya sendiri. Hatinya sudah seperti tempat yang begitu setia untuk keluhan-keluhannya itu.

KARTINI, sorang wanita jawa yang hidup terkekang oleh adat-adat yang ada dan terbelenggu oleh tata krama kehidupan keraton yang berdarah biru, berusaha untuk menguak benteng bertembok beton tersebut. Seorang wanita yang hidup di zaman penjajahan belanda, ingin menuntut kemerdekaan dirinya dan perempuan-perempuan yang lain. Salut. Itu kata pertama yang terucap dari bibirku. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah berpikir jauh kedepan tentang cita-citanya, mengalahkan semua perasaan dan tekanan yang menghujam jiwanya.

KARTINI, begitu semangat dirinya untuk belajar, berkarya dan bekerja. Harapannya cuma satu, ingin mengangkat derajat kaumnya dan mengeluarkan mereka dari penderitaan yang tak berkesudahan ini. Sebagai seorang wanita jawa, aktivitasnya terbatas, hubungan sosialnya pun terbatas, namun ia tidak hilang akal untuk mencari teman berbagi ide dan gagasan serta untuk mengetahui informasi-informasi tentang dunia diluar sana. Surat. Sarana yang sangat lekat dengan Kartini. Lewat surat iya bisa berbicara. Lewat suratpun, ia bisa berbagi. Tak pelak, ia memiliki beberapa teman orang belanda. Jangan heran kalau Kartini bisa bersahabat dengan orang Belanda, karena dia wanita yang cerdas. Ia bisa berbahasa Belanda, bahkan fasih. Konsumsi sehari-harinya adalah koran-koran dan majalah Belanda. Kartini mulai menuangkan buah pikirannya dalam bentuk tulisan setelah ia melahap habis roman-roman yang dibuat oleh penulis-penulis eropa yang terkenal.

KARTINI, dia bukanlah aku. Aku bukanlah wanita jawa berdarah biru yang hidupnya terkekang oleh tata krama. Aku bahkan bebas untuk menyuarakan semua kehendakku. Bebas belajar dan bekarja. Semuanya bisa kulakukan, karena aku hidup di zaman demokrasi. Sampai-sampai banyak orang yang kebablasan pada zaman ini, menyalah artikan kata “Emansipasi” yang dicetuskan Kartini.

KARTINI, hanya tinggal nama bagi kaum wanita zaman ini. Banyak yang menganut paham “Kesetaraan gendernya”, namun sayang sedikit sekali yang bisa mencontoh semangat juang dan semangat belajarnya. Lihatlah, “Kartini” zaman demokrasi ini, terlalu bebas dan tak terkendali. Tak terkekang seperti Kartini, tapi tak pernah mau melebihi cita-cita Seoranga Kartini. Masalah fasilitas dan kesempatan, takkan jadi masalah lagi. Namun, kemauan dan niat suci, itulah yang sulit untuk dicari pada masa ini. Hingga terkuburlah cita-cita Kartini untuk wanita-wanita Indonesia yang beredukasi.

KARTINI, andai kau hidup masa ini. Ku takkan bisa membayangkan, begitu hancurnya hatimu. Perjuangan yang kau lakukan sendiri, ternyata tak membuahkan hasil pada bangsa ini. Khususnya generasi muda yang sering tak peduli, hanya terbuai oleh kenikmatan duniawi.

KARTINI, hapus air matamu, Bu… Air matamu sangat berharga untuk menangisi orang-orang itu, yang bahkan tak sayang pada dirinya sendiri. Tak peduli pada orang tua dan keluarganya, apalagi untuk agama, bangsa dan negara. Sia-sia kau tangisi orang seperti itu, Bu. Karena mereka tak pernah tau untuk apa mereka HIDUP….

Kulihat ibu pertiwi

Sedang bersusah hati

Air matanya berlinang

Mas intan yang kau kenang

Hutan, gunung, sawah lautan

Simpanan kekayaan

Kini Ibu sedang susah

Merintih dan berdoa

Ibu kami tetap cinta

Putra mu yang setia

Menjaga harta pusaka

Membahagiakan ibu

Alunan lagu itu, membuatku terlelap, merasakan kesedihan yang sedang KARTINI rasakan. Namun sayang, aku bukan KARTINI…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar