Jumat, 15 Mei 2009

AIR CELUPAN BATU PONARI, PANTASKAH DISEBUT PENGOBATAN ?


Oleh : Priska Natalia (07120015)

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Tak peduli, apakah air celupan batu Ponari itu higenis atau tidak, yang penting mereka percaya, bahwa air itu bertuah dan bisa menyembuhkan segala macam penyakit”. (Kompas, 23 Februari 2009)

Ironis memang, masyarakat Indonesia berlomba-lomba untuk mendapatkan segelas air celupan batu Ponari dengan satu tujuan, kesembuhan. Mereka tidak peduli lagi apakah air itu bersih atau tidak, yang penting mereka percaya bahwa dengan meminum air tersebut mereka akan sembuh. Tapi pertanyaannya, benarkah semua pasien Ponari yang meminum air celupan batu tersebut akan sembuh? Ternyata tidak, memang banyak yang mengaku sembuh tapi banyak pula yang mengaku penyakitnya tidak sembuh bahkan menambah parah penyakit tersebut. Sayangnya, masyarakat yang datang ke Ponari tidak juga berkurang jumlahnya, masih banyak yang percaya dan yakin dengan kesembuhan pengobatan ala Ponari ini. Mungkin kata percaya dan yakin inilah yang harus kita garis bawahi.

Secara medis air celupan batu Ponari ini tidak layak untuk dikonsumsi, apalagi digunakan untuk pengobatan. “Air dalam kemasan saja masih ada yang tidak sehat, apalagi air yang dicelup batu dan tangan Ponari. Siapa yang menjamin kebersihan tangan Ponari?”, kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Jombang, Dr. Pudji Umbaran.

Kita tahu, secara normal tubuh manusia mengandung 1013 kuman, tidak terkecuali di tangan Ponari si dukun cilik itu. Hal ini mungkin tidak begitu berbahaya bagi orang sehat atau orang yang daya tahan tubuhnya baik, tapi bagaimana dengan pasien-pasien Ponari yang datang dengan bermacam-macam penyakit dan mengalami gangguan pada daya tahan tubuh mereka? Akankah air celupan batu Ponari tersebut memberikan khasiat atau malah membuat penyakitnya menjadi tambah gawat?

Sebenarnya, adanya kuman dalam tubuh manusia (hunbungan hospes-kuman) tidak selalu diikuti dengan keadaan sakit. Wujud hubungan hospes-kuman tersebut ditentukan oleh keseimbangan antara virulensi kuman dan daya tahan manusia (hospes). Virulensi kuman adalah derajat patogenitas yang dinyatakan dengan jumlah mikroorganisme atau mikrogram toxin yang dibutuhkan untuk membunuh binatang percobaan dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan patogenitas adalah kemampuan suatu mikroorganisme untuk menyebabkan penyakit. Jadi kita bisa sakit tergantung pada mikroorganisme yang menyerang dan keadaan tubuh kita saat itu. Sehingga suatu hubungan hospes-kuman memberikan gambaran yang berbeda-beda setiap orangnya.

Air celupan batu Ponari tidak bisa dijamin kebersihannya apalagi kesterilannya. Dalam ilmu kedokteran, untuk melakukan suatu tindakan invasi kepada pasien, maka salah satu yang harus dilakukan oleh dokter adalah melakukan sterilisasi, baik pada alat-alat yang digunakan ataupun pada tangan dan bagian tubuh dokter yang akan berkontak dengan pasien. Sterilisasi adalah setiap proses (kimia atau fisik) yang membunuh semua bentuk hidup terutama mikroorganisme. Hal itu dilakukan adalah untuk mencegah terjadinya infeksi mikroorganisme baik pada pasien maupun pada dokter sendiri. Namun, dalam kasus Ponari hal tersebut tidak dipertimbangkan sedikitpun, bahkan ada masyarakat yang nekat untuk mengambil air comberan yang telah dicelup batu Ponari karena begitu fanatiknya terhadap pengobatan ala dukun cilik ini.

Iming-iming bahwa air celupan batu Ponari dapat menyembuhkan segala macam penyakit, membuat masyarakat yang sudah putus asa dengan pengobatan medis menjadi gelap mata. Semua cara dilakukan hanya untuk mendapatkan segelas air celupan batu Ponari tersebut. Namun setelah meminum air dari Ponari, ternyata penyakitnya malah bertambah parah. Herannya, Ponari tidak pernah dituntut atau dianggap melakukan malpraktek.

Dalam UU No. 23 tahun 1992 dicantumkan masalah Pengobatan Tradisional. Pengobatan tradisional adalah salah satu upaya penyembuhan dan perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan. Di Indonesia dapat dikategorikan dalam upaya penyembuhan dengan ramuan tumbuhan obat, cara fisik (dukun beranak, sunat, akupuntur, dan lain-lain), meditasi dan penyembuhan dengan cara spiritual (doa, mantera, psikoterapi dan lain-lain). Dan dalam pasal 47 dinyatakan bahwa pengobatan tradisional harus dibina dan diawasi agar menjadi pengobatan yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. Jadi, pengobatan tradisional tersebut boleh-boleh saja asal dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya dengan melakukan penelitian secara ilmiah. Tapi, apakah pengobatan Ponari dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya?

Oleh sebab itu Ketua IDI Jombang mengatakan bahwa, pengobatan yang dilakukan oleh Ponari tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis. Dalam ilmu kedokteran untuk menentukan seseorang menderita penyakit tertentu harus melalui beberapa tahap. Mulai dari anamnesis, yaitu wawancara yang dilakukan oleh dokter untuk menggali riwayat penyakit pasien. Kemudian pemeriksaan fisik, mulai dari inspeksi (melihat), palpasi (meraba), perkusi (mengetuk) dan auskultasi (mendengar). Tidak hanya itu saja, dokter biasanya juga melakukan pemeriksaan laboratorium sederhana. Kalau seandainya diagnosis belum tegak, maka dapat juga dilakukan pemeriksaan histopatologi atau pemeriksaan penunjang lainnya. Jadi tak semudah yang dilakukan Ponari, menyembuhkan segala macam penyakit dengan air celupan batu petir tanpa tahu apa sebenarnya yang terjadi pada pasiennya.

Dan serangkaian tindakan tersebut pun tidak menjamin kesembuhan total pada pasien, tergantung berat atau ringannya penyakit pasien dan tergantung pada stadium berapa pasien melakukan pengobatan. Sehingga tidak dapat dipungkiri kedatangan seseorang ke dukun atau pengobatan alternatif lainnya karena merasa putus asa dengan model penyembuhan oleh dokter.

Dalam tinjauan medis, orang yang berobat pada Ponari hanya mendapat “efek plasebo”, yaitu penderita merasakan kenyamanan sesaat, walaupun penyakitnya tidak hilang begitu saja. Efek plasebo ini juga bisa didapatkan pasien dari seorang dokter. Sebuah studi menemukan bahwa hampir sebagian internis di Chicago mengatakan telah meresepkan plasebo kepada pasien mereka selama prakteknya. Plasebo seringkali dikenal sebagai pil gula (sugar pill), sebenarnya tidak mempunyai mutu pengobatan. Selain dikenal sebagai kontrol dalam uji klinis, plasebo dipandang sebagai alat terapi dalam praktek pengobatan. Namun, menurut tim peneliti penggunaan plasebo masih diperdebatkan secara etika. Beberapa ahli etika berpendapat pasien harus tahu kalau mereka diberikan plasebo, tapi yang lain melihat tidak ada masalah dengan efek plasebo. Efek plasebo berarti beberapa pasien membaik secara spontan atau karena mereka merasa diberi obat sehingga mereka percaya sedang diobati oleh dokter padahal mereka sembuh bukan karena pengobatannya. Sama halnya dengan orang yang datang ke tempat Ponari. Setelah meneguk air ada orang yang langsung merasakan kesembuhan karena mereka percaya dengan pengobatan tersebut. Padahal penyakitnya belum hilang.

Begitu juga dengan obat-obatan yang akan diberikan dokter kepada pasien, tidak langsung diberikan begitu saja namun melalui suatu uji yang disebut dengan pengujian obat. Prosedur pengujian obat tersebut harus melalui berbagai tahap penelitian, yaitu : penelitian farmakologis preklinis, penelitian farmasi dan penelitian klinik. Penelitian farmakologi preklinik dan farmasi adalah penelitian percobaan obat pada binatang percobaan, sedangkan penelitian klinik adalah penelitian percobaan obat pada manusia. Sehingga obat yang diberikan pada pasien bukan asal-asalan saja, namun harus diuji terlebih dahulu pada binatang percobaan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ada. Apakah air celupan batu Ponari sudah dilakukan pengujian terhadap binatang sehingga bisa diberikan pada manusia? Untuk jawaban dari semua pertanyaan di atas, mungkin bisa kita analisa sendiri dan bisa kita jawab sendiri berdasarkan uraian yang telah diberikan.

Namun sesungguhnya, fenomena Ponari ini memberikan tantangan kepada para dokter. Untuk menjawab tantangan tersebut, dokter tidak boleh lagi tertutup dan pelit dalam memberikan informasi mengenai penyakit pada pasien. Lakukanlah suatu komunikasi efektif dengan pasien, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara dokter dan pasien yang dapat menimbulkan anggapan bahwa dokter melakukan malpraktek dan dapat menjebloskan dokter ke dalam penjara serta hasil pengobatan pun tercapai secara maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

Fenomena Ponari dalam Tinjauan Medis dan Sosiologi oleh M. Irfan Ilmie

disadur dari: http://www.kompas.com/read/xml/2009/02/23/18095223/Fenomena.Ponari.dalam.Tinjauan.Medis.dan.Sosiologi

Hampir sebagian Dokter Meresepkan Plasebo

Disadur dari :

http://www.kompas.com

Hanafiah J dan Amir A, 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Notoatmodjo S, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.

Syahrurachman A, dkk. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar