Senin, 24 Mei 2010

Abdurahman Faiz sang Penyair...

Aku tak begitu kenal dengan nama yang menjadi judul tulisanku kali ini. Mungkin aku lebih mengenal beberapa puisi yang kuanggap "sungguh luar biasa". Tak sengaja, sewaktu masih SMA aku membaca suratnya kepada Ibu Megawati. Kata-katanya yang begitu lugu dan sederhana membuatku penasaran untuk membaca karya-karya lainnya. Benar-benar tidak sia-sia aku membacanya. Kata-kata yang disampaika begitu tulus, khas anak kecil namun tetap "puitis".

Sempat beberapa kali bulu kuduk ku berdiri ketika menghayati puisi tersebut. Bahkan tetesan bening itu keluar dari mata ku. Benar-benar luar biasa. Aku tidak menyangka kalau puisi itu dibuat oleh anak kelas 2 SD. Salut deh.....

Kemaren, aku kembali membuka halaman yang pernah aku download beberapa tahun yang lalu. Ku baca lagi puisi-puisi itu. Tapi, perasaan yang muncul masih sama seperti saat itu. Benar-benar kata-kata lugu yang mengguncangkan ^_^

Akhirnya, iseng-iseng ngetik nama "Abdurahman Faiz" di google dan aku mendapatka beberapa informasi.

Diunduh dari :  sastra-radio


Abdurahman Faiz Menyebarkan Cinta

“Aku menulis karena empat hal. Pertama, untuk mengucapkan diriku. Kedua, untuk menyampaikan gagasan dan perasaanku. Ketiga: untuk menolong orang lain, dan keempat ---ini tetap harus kusebut—yaitu untuk menyebarkan cinta yang tak pernah selesai….” ujar Faiz ketika berusia 10 tahun.
Nama Faiz mulai terkenal sebagai penyair cilik ketika ia menjadi Juara I Lomba Menulis Surat untuk Presiden tingkat nasional yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (2003) dengan juri: Seto Mulyadi, Ratna Sarumpaet, Agus R. Sarjono dan Tika Bisono. Surat yang ditujukan kepada Presiden ke 5 Republik Indonesia; Megawati Soekarnoputri tersebut kemudian beredar kemana-mana terutama melalui internet.  Banyak sekali tanggapan mengenai surat yang ditulisnya saat kelas II SD tersebut. Faiz pun diserbu wartawan media cetak dan elektronik. Ya, meski terkesan polos tetapi surat itu menunjukkan bahwa penulisnya sangat peka akan situasi sosial politik di Indonesia. Kepekaan yang menyentil para elit politik dan para pejabat, karena lahir dari anak yang belum berusia 8 tahun!




SIAPA MAU JADI PRESIDEN? 
Menjadi presiden itu berarti
melayani dengan segenap hati
rakyat yang meminta suka
dan menyerahkan jutaan
keranjang dukanya
padamu


(Abdurahman Faiz, 2003)




Faiz lahir di Jakarta, 15 November 1995 anak pertama dari pasangan  Tomi Satryatomo (jurnalis televisi) dan Helvy Tiana Rosa (cerpenis). Ia telah “mengucapkan” puisi-puisinya sejak usia 3 tahun dan menuliskannya di komputer sejak umur 5 tahun. Pertama kali Faiz tampil membacakan puisi-puisinya yang pada waktu itu belum dibukukan, adalah atas undangan Nurcholish Majid pada acara peluncuran buku beliau: “Indonesia Kita” yang mengundang ribuan tokoh nasional. Faiz yang masih kelas II SD khusus tampil membacakan beberapa puisi tentang Indonesia, termasuk menyentil kelakuan para koruptor dan elit politik  negeri ini.


Tak lama kemudian, Faiz diundang pula untuk membacakan karyanya dalam acara deklarasi Anti Politikus Busuk di Jakarta (2004) bersama mantan Presiden: Abdurahman Wahid, Faisal Basri, dan sejumlah tokoh nasional lainnya.


Selanjutnya Faiz kian sering diundang membacakan dan membicarakan karya-karyanya dalam berbagai forum, termasuk di hadapan Presiden RI ke 5: Megawati Soekarno Putri, Presiden SBY, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua MPR Hidayat Nurwahid, sejumlah menteri dan tokoh-tokoh nasional lainnya.


Megawati mengungkapkan kekagumannya pada kecerdasan Faiz lewat surat balasannya pada Faiz (2003). Faiz juga diundang dalam pencanangan gerakan anti narkoba di Stadion Gelora Bung Karno bersama Presiden Megawati dan membacakan puisinya. Dalam Debat Capres di sebuah stasiun televisi swasta tahun 2004, di mana Faiz diundang sebagai salah satu panelisnya, Amien Rais berkomentar, “Luar biasa. Mas Faiz ini masih sangat muda, tetapi pemikirannya sangat dalam.” Sementara saat bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara dalam pencanangan gerakan berkirim surat nasional untuk anak Aceh dan Nias (2005), Presiden berkata, “Selamat, Faiz. Tulisanmu sangat menyentuh pikiran dan hati.”


Pada tahun yang sama, puisi Faiz “Sahabatku Buku” menjadi juara Lomba Cipta Puisi Tingkat SD seluruh Indonesia yang diadakan Pusat Bahasa Depdiknas.  Ia juga terpilih sebagai Anak Berbakat Indonesia versi Nutrilon yang ditayangkan di Metro TV (2004).


Buku kumpulan puisi pertama Faiz Untuk Bunda Dan Dunia (DAR! Mizan, Januari 2004) sebenarnya adalah puisi-puisi yang ia tulis saat berusia 5-7 tahun dan terbit saat ia berusia 8 tahun. Buku yang diberi pengantar oleh Taufiq Ismail tersebut meraih Anugerah Pena 2005 serta Buku Terpuji Adikarya IKAPI 2005. “Sebuah buku yang sangat indah sekaligus sarat makna dan sangat menyentuh,” ujar Nina Armando dari Ilmu Komunikasi UI, salah satu juri.
Untuk Bunda dan Dunia juga merupakan buku pertama yang diterbitkan dalam serial KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) divisi DAR! Mizan (bersama sebuah buku karya Izzati), yang kemudian menginspirasi dan memicu lahirnya para penulis cilik lainnya di negeri ini. Seri buku KKPK rupanya sangat booming, terjual jutaan kopi dan mendorong anak Indonesia lainnya untuk membaca juga menulis. Pada tahun 2008, para penulis cilik KKPK dimotori Faiz dan Izzati menyelenggarakan Konferensi Penulis Cilik Indonesia I (Pencil) dan merekomendasikan beberapa kebijakan dalam hal perbukuan di Indonesia.


Buku kedua Faiz: Guru Matahari (DAR! Mizan 2004), terbit saat ia masih berusia 8 tahun pula, diberi pengantar Agus R. Sarjono mendapat nominasi Khatulistiwa Literary Award 2005. Masuknya Faiz dalam nominasi penghargaan nasional yang didominasi oleh para sastrawan terkemuka di negeri ini mendapat berbagai tanggapan dari dunia sastra Indonesia. Seorang penyair yang belum pernah membaca puisi Faiz dengan sinis berkata, : “Masak puisi anak SD disejajarkan dengan para sastrawan senior?” Namun banyak pula kalangan menyatakan bahwa karya-karya Faiz layak sekali masuk dalam nominasi penghargaan tersebut. “Puisi Faiz tidak seperti puisi anak-anak pada umumnya. Faiz itu penyair. Ini tak dapat dibantah!” kata Agus R. Sarjono. “Sejujurnya, membaca sajak-sajak Faiz saya sungguh-sungguh tercengang. Ia dikaruniai bakat kepengarangan yang luar biasa,” komentar Ahmadun Y. Herfanda, Penyair dan Redaktur Sastra dan Budaya Republika.


“Saya membaca buku Faiz dan mendengar wawancaranya di Radio BBC. Suaranya memang anak kecil, tetapi pemikirannya sangat tak disangka. Saya terkejut mendengarnya,” papar Prof. Dr. Budi Darma, sastrawan dan kritikus terkemuka Indonesia. Sedangkan Taufiq Ismail berkata,“Saya tersentak membaca puisi Faiz. Puisi-puisi Faiz sangat menggugah nurani siapapun yang membacanya. Selain itu kemampuan Faiz menulis dalam perkiraan saya sepuluh tahun melampaui umurnya.”


Buku ketiga Faiz: Aku Ini Puisi Cinta (DAR! Mizan 2005) membawanya meraih penghargaan Penulis Cilik Berprestasi dari Yayasan Taman Bacaan Indonesia (2005). Buku keempatnya sebuah kumpulan esai berjudul: Permen-Permen Cinta Untukmu (DAR! Mizan 2005). Dalam kumpulan esai yang ditulisnya pada rentang tahun 2003-2005 tersebut Faiz banyak mengungkapkan gagasan dan perasaan yang dijalinnya dengan sangat menyentuh.
Sebelumnya tulisan-tulisan Faiz pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, dan Republika. Bersama beberapa penulis cilik lainnya, Faiz menggagas dan menerbitkan kumpulan cerpen Tangan-Tangan Mungil Melukis Langit (LPPH 2006), untuk membantu biaya sekolah bagi teman-teman kecil mereka yang tinggal di kolong jembatan tol. Karyanya juga terdapat dalam antologi bersama: Matahari Tak Pernah Sendiri (1 dan 2), Jendela Cinta (GIP 2005), Antologi Puisi Empati untuk Yogyakarta (2006) dan Magic Cristal (Mizan, 2008).


Sejumlah perusahaan negeri dan swasta kemudian menjadikan beberapa karya Faiz, juga profilnya sebagai bahan iklan layanan masyarakat mereka, antara lain Garuda Food (2005), BNI (2006) dan Telkom (2007).


Tahun 2006 Faiz dinobatkan sebagai Anak Kreatif Indonesia versi Yayasan Cerdas Kreatif Indonesia yang dipimpin Kak Seto. Faiz juga mendapat PKS Award Kategori Anak Indonesia Berprestasi bidang Seni Budaya (2007). Bukunya yang terbit kemudian Nadya; Kisah dari Negeri yang Menggigil (2007) diberi pengantar oleh Sapardi Djoko Damono. Dalam pengantar tersebut Sapardi menulis, “Faiz sadar bahwa menulis puisi bukanlah sekedar permainan lagi. Berpuisi, baginya, adalah semacam tugas yang telah diberikan oleh orang di sekitarnya.”
Faiz diganjar beberapa penghargaan di antaranya Anugerah Kebudayaan dari Departemen Pariwisata dan Budaya (2009). Kini selain aktif sebagai penulis, Faiz adalah penggiat Forum Lingkar Pena dan Rumah Cahaya (baCA dan HAsilkan karYA) yang bergerak di bidang sosial budaya untuk pemasyarakatan baca tulis bagi masyarakat, khususnya kalangan dhuafa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar