“Maaf Akhi…, tunggu 10 menit lagi ya… Soalnya belum ada yang datang”.
Sudah 3 kali Husen mengulang-ulang kalimat itu pada ku. Padahal jarum jam di tanganku sudah membentuk sudut 90o dengan jarum panjang di angka 12 dan jarum pendek di angka 9. Ya, sekarang sudah jam 9 tepat dan rapat yang di rencanakan jam 8 teng ini, belum juga melihatkan tanda-tanda kehidupannya.
Saat matahari perlahan-lahan mulai naik, satu per satu anggota rapat pun datang dengan tampang tidak bersalah. Masing-masing sudah membawa alasan-alasan yang akan mereka sampaikan di forum, ada yang syar’i dan ada juga yang tidak. Akhirnya, jam 10.00 WIB rapat pun dimulai walaupun semua peserta rapat, belum hadir. Sebelum azan zhuhur rapat telah selesai dengan beberapa agenda yang di”pending” karena keputusan tidak bisa diambil dengan jumlah peserta rapat yang terlalu sedikit ini. Setelah sholat zhuhur di Mushola, akupun pulang.
***
“Waduh Ras, alot sekali rapatmu, dari jam 08.00 WIB sampai jam segini baru kelar…”, komentar salah seorang teman sekamarku. Dia adalah Afrat, salah seorang seniorku di kampus.
“Apa nya yang alot Bang, mulai nya aja baru jam 10.00 WIB, itu pun dengan peserta rapat yang pas-pasan”, aku melihat raut wajah bang Afrat mulai berubah. Aku tak tau, itu pertanda baik atau buruk.
“Ya udah, mungkin mereka ada urusan syar’i, ingat nggak boleh bersu’uzon dulu,” kata bang Afrat sambil mengusap-usap punggungku. Dari mimiknya bisa ku baca bahwa dia tau aku cukup kecewa.
***
Hari ini jadwalku cukup padat, bahkan mungkin sangat padat. Jam 07.00 sampai jam 11.00, aku kuliah. Setelah itu dari jam 11.00 sampai 12.30, ada pratikum. Trus, ba’da zhuhur aku meneruskan rapat yang belum kelar kemaren sampai selesai, biasanya sampai jam 18.00. Dan jam 15.00 aku juga ada temu alumni di SMA ku.
Waduh, pusing juga mikirinnya. Apalagi aku tipe orang yang susah memilih 2 hal yang ku anggap sama-sama penting. Bang Afrat pernah menasehatiku, katanya “Ras, hidup kita ini nggak selalu lurus. Kadang berkelok, kadang menurun, kadang menanjak, kadang sesuai dengan keinginan kita dan kadang nggak sesuai dengan keinginan kita. Jadi untuk menentukan sesuatu, gunakan SKALA PRIORITAS”. Begitulah yang selalu di ucapkan Bang Afrat pada ku, jika aku selalu mengeluh tentang jadwal ku yang selalu berbentrokkan. Kalau dipikir-pikir, jadwal Bang Afrat jauh lebih padat dari padaku, tapi kok abang tersebut kayaknya fine-fine aja ya dengan jadwalnya yang seabrek itu. Aku aja dengan jadwal segini, udah pusing tujuh keliling. He…he….
Ok, sekarang aku sudah berencana untuk memprioritaskan Rapat ku yang belum kelar kemaren, karena disana pun aku berkedudukan sebagai koordinator seksi acara dalam kegiatan Bakti Sosial. So, aku harus hadir dong. Dan kira-kira ba’da ashar, aku permisi untuk mengikuti acara alumni di SMA ku.
***
Setelah sholat zhuhur di Mushola kampus, aku bersegera ke tempat rapat. Aku sengaja lebih awal ke tempat rapat, karena aku akan minta izin kira-kira jam 16.00 nanti. Aku berharap rapat dapat berjalan tepat waktu sehingga waktu yang ada dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Tapi apa yang terjadi…., sampai jam 13.20 ruang rapat masih tetap di huni oleh 1 orang, yaitu aku. Aku tak tau, kemana teman-teman yang lain. Sudah ku coba untuk menghubungi beberapa orang, ada yang makan dulu, ada yang masih kuliah dan masih banyak alasan-alasan yang lain.
Jam 13.40 anggota rapat mulai datang, tapi…. ya seperti itulah, rapat masih belum dimulai, katanya “tunggu yang lain dulu”. Benar-benar, kita masih menghukum orang yang tepat waktu untuk menunggu orang yang tidak disiplin. “Apakah ini kebiasaan turun-temurun?”. Tiba-tiba terbersit pertanyaan itu di benak ku. Akhirnya, jam 14.00 rapat baru dimulai. Aku meminta pemimpin rapat untuk mendahulukan membahas masalah di seksiku, seksi acara, ya…terlebih dahulu dengan mengemukakan alasannya. Permintaanku di setujui forum dan tepat sebelum azan ashar, pembahasan seksiku selesai.
“Sen, aku izin ya…. Aku ada acara temu alumni di SMA. Tapi aku udah usaha datang lebih awal, agar rapatnya mulai tepat waktu dan bisa cepat selesai juga, tapi nyatanya jam 2 juga mulainya”, kataku kepada Husen yang merupakan ketua dalam acara ini.
“Ya udah Ras, pembahasan seksi mu kan udah selesai, ntar hasil rapat selanjutnya aku kasih tau aja atau ntar malam ku sms, Ok…. Oh ya, tadi teman-teman udah minta izin ke aku, katanya banyak yang belum makan jadi makan dulu, karena itu rapatnya jadi jam 2. Maaf ya….”.
***
Tidak hanya itu saja, rapat-rapat setelah itupun berlangsung lebih kurang seperti dua rapat di atas, lebih mengutamakan yang telat dan menghukum yang datang tepat waktu.
“Ras, kamu nggak ikut rapat? Katanya ada rapat koordinator-koordinator sekarang? Udah pukul 2 kurang 10 loh, ntar kamu telat lagi, katanya mulai jam 2 kan?”, kata Bang Afrat mengingatkan ku yang masih duduk santai membaca majalah Tarbawi.
“Ah, santai aja bang. Palingan juga mulainya jam 3an, kalau aku pergi sekarang masih belum ada orang”, jawabku sepele masih sambil menekukkan kepalaku ke majalah tarbawi.
“Tapi rapatnya kan jam 2 Ras,” ulang Bang Afrat meyakinkanku.
“Iya bang, aku tau. Tapi aku dah kapok datang tepat waktu, kena hukum terus,” kataku pada bang Afrat sambil menutup majalah tarbawi yang ku baca.
“Waduh, nggak bisa kayak gitu tuh… Masa’ kapok datang tepat waktu sih. Dan mana ada orang tepat waktu di hukum Ras, yang ada tuh orang telat yang yang dihukum…. Kamu nih ada-ada aja”, tanya Bang Afrat heran mendengar penuturanku.
“Orang datang tepat waktu dihukum untuk nungguin yang datang telat, padahal kepentingan kita nggak itu aja kan bang. Ya udah lah bang, aku makan dulu habis itu baru aku berangkat”, jawab ku akhirnya dan segera meninggalkan tempat duduk ku menuju dapur.
Ternyata benar dugaanku, jam menunjukkan pukul 14.30 saat aku sampai di ruang rapat, namun peserta rapat masih bisa aku hitung dengan jari. Apakah sangat kroniskah penyakit telat di kampus ini atau telat adalah sifat turunan bangsa Indonesia? Padahal dalam pepatah sudah dikatakan bahwa “waktu adalah uang” dan kita tahu bahwa segala didunia ini butuh uang namun uang bukanlah segalanya. Dan dalam surat Al 'ashr juga dijelaskan tentang waktu, yang mana arti surat 1-2 adalah : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar kerugian.
***
Sekarang beberapa bulan pun telah berlalu, aku menjadi menikmati kebiasaan ku baru-baru ini yaitu TELAT. Aku yang dulu sangat ANTI dengan yang namanya telat, sekarang malah MENIKMATI telat itu. Dulu, jika rapat dimulai jam 2, aku sudah duduk manis di ruang rapat jam 2 kurang 10. Namun sekarang, jika rapat dimulai jam 2, maka aku ke ruang rapat jam 3 bahkan lewat. Bang Afrat heran melihat perubahanku. Setiap kali ditanya, aku selalu bilang kalau aku kapok datang tepat waktu. Aku yakin, Bang Afrat paham dengan apa yang ku maksud, namun dia tetap berusaha menasehatiku untuk merubah sikapku.
“Ras, kok kamu jadi nggak menghargai waktu kayak gini sih? Dulu, yang abang tau kamu tuh paling anti dengan yang namanya telat, tapi sekarang kamu suka telat sih?”, tanya bang Afrat lembut kepada ku karena takut menyinggung perasaanku.
“Iya bang, aku udah kapok datang tepat waktu dan aku udah bosan jadi tukang tunggu”, jawabku singkat.
“Tapi ini bukan solusi Ras”, kata Bang Afrat lagi.
“Habis mau diapain lagi bang, emang kenyataannya kayak gini. Datang tepat waktupun, rapat juga nggak akan dimulai jam segitu. Kayaknya udah seperti ketentuan yang nggak tertulis deh bang, kalau di surat undangan rapatnya jam 8, di kenyataannya rapat dimulai jam 9. Jadi orang-orang pada datang jam 9 bang”, aku mulai menjelaskan dengan realita-realita yang ada.
Karena itu mulai dari diri kamu sendiri, biasakan tepat waktu”, tambah bang Afrat sambil mengusap-usap punggung ku yang mengingatkan ku pada ibu di kampung yang selalu mengusap-usap punggungku kalau sedang bicara dengan ku.
“Dulu udah bang, tapi….hasilnya gitu-gitu juga”, kataku yang langsung disambung oleh azan magrib yang berkumandang dari mesjid didekat situ.
***
Kebiasaan TELAT, sudah seperti mendarah daging di diriku. Itu terbukti ketika aku melihat surat undangan dimana di sana tertulis jam 08.30, otakku langsung menginterpretasikan agar aku datang jam 09.00. Rapat demi rapatpun aku lalui dengan metode seperti itu, sampai pada suatu ketika ketua forum mendelegasikan aku untuk mengikuti rapat bersama Dekan di dekanat jam 10.00. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja pikiran bawah sadarku menyuruhku untuk datang jam 10.30, padahal aku tahu bahwa Bapak dekan terkenal sebagai orang yang disiplin.
Ketika aku datang dan memasuki ruangan rapat, rapat sudah dimulai dan kelihatannya semua peserta sudah datang pada jam yang telah ditentukan, ya…kecuali aku tentunya. Tiba-tiba Pak dekan menghentikan pengarahannya dan mengarahkan pandangannya padaku.
“Ya, kamu yang baru datang, dari utusan UKM apa? Kenapa baru datang? Rapat sudah di mulai setengah jam yang lalu”, kata Pak dekan dengan tampang yang jauh dari senyum.
Tergagap aku menjawabnya, sekarang semua mata tertuju padaku, tak hanya mata Pak Dekan saja.”Dari UKM BSD pak”, jawabku singkat, aku tak mau memperpanjang urusannya. Aku ke sini membawa nama forum, nama UKM. Jangan gara-gara keteledoran pribadiku membuat citra UKM ku menjadi buruk.
“Ya sudah, duduk. Saya tidak suka, saat saya bicara ada orang keluar-masuk, itu menggangu kosentrasi saya. Lebih baik nggak masuk dari pada telat”, kata Pak dekan yang akhirnya melanjutkan pengarahannya, namun kata-katanya yang terakhir membuat aku kembali sadar, betapa pentingnya menghargai waktu dan datang tepat waktu. Orang-orang terpelajar dan berpendidikan pastilah lebih menghargai waktu. Apalagi di dalam agama kita lebih menyukai orang yang menepati janji, termasuk janji terhadap waktu.
Aku mulai merenungi kembali kata-kata Bang Afrat yang selalu sabar menasehatiku. Memang TELAT sudah seperti budaya di Indonesia ini, namun yakinlah kita bisa merubahnya. Mulailah dari diri kita sendiri, jangan sampai kita selalu menghukum orang yang tepat waktu demi hanya menoleransi orang yang tidak menghargai waktu. So, semuanya tergantung kita, cepat segera ubah Mind Set kita.
***