Waktu itu, saat ku duduk di kursi tunggu ruang praktekku. Tak sengaja aku mengarahkan kepalaku kepada suatu pemandangan yang membuatku teringat kembali kepada masa laluku.
Di seberang jalan persis di depan tempat praktekku, seorang bapak-bapak sedang menggandeng anaknya yang berumur lebih kurang 5 tahun, itu menurut prediksiku. Anak yang masih menggunakan seragam Taman Kanak-kanak dengan menyandang sebuah botol minuman itu kelihatan seperti sedang berbincang-bincang dengan ayahnya. Ketika mereka berjalan semakin mendekat ke tempatku, akupun tak segaja menguping pembicaraan mereka.
“Jov, tadi di sekolah belajar apa?”, tanya ayah anak tersebut sambil mengusap kepala si anak dengan lembut dan penuh kasih sayang.
“Tadi Jovey belajar mengambar dan mewarnai, Yah”, jawab anak tersebut yang ternyata bernama Jovey.
“Gimana, kamu bisa nak?”, tanya ayah si anak lagi.
“Tentu dong Yah, aku kan anak pintar”, jawab Jovey semangat sambil menunjuk kepalanya yang sebelah kanan.
“Bagus nak, bagus. Kamu harus belajar yang rajin, agar besok bisa jadi orang besar. Biarlah ayah yang susah seperti ini, yang penting kamu bisa sekolah dan mencapai cita-cita mu. Ayah ingin kalau kamu besar nanti, kamu bisa jadi dokter. Supaya kalau ayah sakit, kamu bisa obati ayah dan kita tidak perlu keluar banyak uang lagi”, ujar ayah Jovey.
Aku tak yakin, apakah Jovey kecil mengerti apa maksud perkataan-perkataan ayahnya tersebut. Kulihat, ayah Jovey sangat berharap sekali Jovey dewasa akan menjadi seorang dokter, ya dokter sepertiku. Jovey kecil dan ayahnya sudah mulai menjauh dari tempatku, namun sayup-sayup masih kudengar Jovey menjawab dengan semagat dan keluguannya,”Baik, ayah. Besok kalau Jovey sudah besar, Jovey akan jadi dokter. Dan kalau ayah sakit, ayah tidak usah berobat mahal-mahal lagi, Jovey akan mengobati ayah sampai sembuh.” Kemudian suara Jovey kecil semakin menjauh dan tak terdengar lagi. Walaupun kedua anak dan bapak itu sudah berjalan jauh meninggalkan tempat praktekku, namun percakapan yang tak sengajaku dengar itu melemparkan aku kembali ke 25 tahun yang lalu. Aku dan ayahkupun pernah berbincang-bincang seperti itu ketika aku dibonceng dengan sepeda sepulang dari sekolah. Walaupun ayahku hanya seorang pedagang kecil, namun ayah selalu menyisihkan waktunya untuk menjemputku. Dia rela menutup toko kecilnya demi ingin menjemputku. Bahkan pedagang-pedangan yang lain pernah menyindir ayahku, “Man, kamu niat jualan ngak sih! Bentar tutup, bentar buka. Kalau ngak niat, tutup aja tuh toko”. Begitulah kira-kira perkataan pedangang-pedangang yang berjualan didekat toko ayahku. Ya, begitulah ayahku selalu mementingkan kepentingan anaknya dari pada kepentingan dirinya sendiri.
Kami sering sekali bercerita, bercerita seperti Jovey dan ayahnya tadi. Pada saat itu, ayah selalu membelikan apa yang aku minta, dia selalu bilang,”Randi, kamu harus belajar yang rajin, supaya jadi orang pintar dan bisa jadi dokter. Kalau Randi sudah jadi dokter, Randi bisa mengobati ayah kalau ayah sakit dan bisa beli apa yang Randi mau”. Itulah yang selalu ayahku katakan padaku. Sehingga ketika guru Bahasa Indonesia kelas 1 SD ku bertanya tentang cita-cita, aku dengan PDnya menjawab ingin menjadi dokter. Ketika itu, aku belum tau apa itu sebenarnya cita-cita dan apa sebenarnya pekerjaan dokter itu, yang aku tahu kalau aku jadi dokter, aku bisa beli semua yang aku mau, hanya itu. Cita-citaku jadi dokter tak bertahan lama, ketika aku duduk di kelas 4 SD, aku bercita-cita ingin jadi tentara, karena kebanyakkan temanku bercita-cita menjadi seorang tentara. Itupun tak bertahan lama. Saat aku duduk di kelas 2 SMP, aku bercita-cita ingin menjadi pilot. Sampai akhirnya ketika aku duduk di kelas 3 SMA, semuanya telah berubah, aku tak seperti Randi kecil lagi yang selalu patuh pada perkataan ayahku. Sekarang aku lebih suka mendengar kata teman-temanku dari pada perkataan orang tua ku. Seiring dengan waktu, usia ayahku pun mulai beranjak tua.
Otot-ototnya yang dulu kekar, sekarang sudah mulai kendor. Tulang-tulangnya yang dulu kuat dan selalu mengendongku, sekarang mulai lemah. Sekarang umurku 18 tahun, sudah 13 tahun percakapan-percakapan hangat ku dan ayah tentang cita-citaku menjadi seorang dokter berlalu. Aku sudah lama lupa akan percakapan itu, namun tak kusangka ayah masih sangat mengingat percakapan antara dia dan si Randi kecil.
Besok adalah hari pengumunan kelulusan ku di SMA. Aku sudah mempersiapkan diriku untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun bukan ke Kedokteraan. Aku sudah berencana untuk melanjutkan pendidikanku ke Teknik Informatika ITB, karena aku sangat tergila-gila pada dunia komputer dan software. Malam harinya, ayah kembali bertanya kepadaku tentang keputusanku dan kembali berusaha untuk menyakinkanku agar mau melanjutkan pendidikanku ke Fakultas Kedokteraan UNAND.
“Ndi, percayalah pada ayah. Menjadi dokter lebih baik dari pada menjadi Sarjana Teknik. Mau jadi apa kamu nanti? Lebih baik jadi dokter, lebih jelas kerjanya dan kita ngak terikat. Kamu juga bisa buat tempat praktek sendiri.” Ayahku berusaha keras untuk meyakinkanku, itu terlihat jelas dari mimik mukanya yang menyimpan harapan besar agar aku menjadi seorang dokter.
“Tapi yah, Randi ngak suka Biologi dan lagi pula di Kedokteran itu bukunya tebal-tebal”, jawabku keras namun ku tetap berusaha untuk menjaga kesopanku. Aku tau betapa sebenarnya ayahku menginginkan aku menjadi seorang dokter. Aku tak tau alasan pasti ayah, namun salah satu alasannya yang kuingat dalam percakapan masa kecilku dengan ayah adalah agar aku bisa mengobati ayah kalau ayah sakit dan kita tidak perlu keluar uang banyak. Emangnya sakit apa sih ayah, palingan cuma flu atau demam biasa aja, kan bisa berobat ke puskesmas tanpa bayar, gumamku dalam hati.
Beberapa hari kemudian, ketika aku sudah dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan, ayah terus berusaha membuatku mengubah pikiran dan mau masuk ke Fakultas Kedokteran UNAND. Memang perbuatan ayahku tidak bisa dibilang memaksa, namun dari mimik dan ekspersinya, aku tahu sebenarnya ini adalah paksaan. Sekarang aku tahu satu lagi alasan ayah mengapa menyuruhku menjadi seorang dokter. Malam itu, ayah bercerita tentang proses kelahiranku. Saat melahirkanku, ibuku dalam keadaan yang sangat gawat, nyawanya dipertaruhkan. Aku memang lahir dengan cara normal, namun ada kesalahkan dengan jahitan pada vagina ibuku. Dokter yang menolong persalinan ku, lupa menjahit bagian dalam vagina ibuku, sehingga darah ibu tetap mengucur dengan deras sampai ibuku kehilangan banyak darah dan di kirim ke RS.Ahmad Muchtar Bukittinggi. Kami yang berdomisili di Payakumbuh jarang sekali berkunjung ke RS.Ahmad Muchtar Bukitting begitu juga ayahku. Hal ini membuat ayah tidak familiar dengan jalan masuk dan keluar Rumah Sakit. Saat itu malam hari, dokter berkata bahwa ibuku butuh 7 kantong darah, ayah sangat binggung dan panik kemana ia harus mencari 7 kantong darah malam-malam begini, sampai-sampai dia tidak tahu lagi dimana pintu masuk dan keluar Rumah Sakit tersebut. Orang yang dikenalpun tidak ada, tiba-tiba ada seorang mahasiswa kedokteran yang sedang KoAss menolong ayahku. Sejak saat itu, ayah ingin sekali kalau aku menjadi seorang dokter. Begitulah kira-kira cerita ayahku.
Cerita semalam, mulai sedikit bisa merubah pendirianku, walau tak 100% berubah. Akhirnya dengan sedikit terpaksa aku mengambil kedokteraan UNAND pada pilihan pertama di blangko SPMBku.
Sekarang hari Senin, hari dimana pengumuman kelulusan SPMB akan dimuat disemua surat kabar secara serentak. Sayang, aku tidak begitu antusias untuk melihatnya. Aku tak tahu kenapa. Namun, tiba-tiba pintu rumahku terbuka. Ada seseorang yang mengucapkan salam di luar sana, dan aku yakin itu adalah suara ayahku. Sambil sedikit berlari, ayah masuk dengan wajah sangat cerah. Kelihatan sekali dari mulutnya yang tersenyum lebar. Ditanganya kulihat ada sebuah koran, ya tepatnya koran yang berisi pengumuman SPMB.
“Ndi, kamu lulus nak. Kamu lulus di kedokteraan?”, ayah semangat sekali menyampaikannya padaku. Sebenarnya aku sedikit tidak bahagia, namun ku paksakan wajahku tersenyum.
“Iya, yah”, jawab ku singkat. Kulihat gurat kebahagian jelas tersirat di wajah ayahku, dan sepintas kulihat matanya berkaca-kaca. Baru kali ini kulihat ayah sebahagia ini.
“Kamu belajar saja yang rajin, soal biaya jangan kamu pikirkan biar ayah dan ibumu yang urus”, ayah kembali berkata sambil mengusap punggungku, walau ku tau sebenarnya sulit bagi kedua orang tuaku untuk menggumpulkan uang sebanyak itu.
Sudah 2 bulan aku belajar dan menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteraan Universitas Andalas ini. Namun, aku masih merasa terpaksa belajar di sini. Aku berusaha mencari kegiatan yang membuatku nyaman dan betah ke kampus. Pertama yang terpikir olehku adalah dengan mencari pacar, ya dengan pacaran kita punya motivasi untuk ke kampus. Aku sudah memiliki target seorang cewek yang lumayan cantik, kulitnya putih dan kelihatannya anak orang kaya. Jangan heran kalau aku bisa mendapatkan cewek yang cantik, karena akupun tak kalah tampannya, kulitku putih bersih dan aku adalah orang yang rapi.
Cara pertamaku lumayan berhasil, cara ini membuat aku rajin kekampus walaupun bukan untuk kuliah. Beberapa minggu berjalan dengan cewek baruku yang bernama Lia, aku sudah mulai bosan. Ternyata dia tidak sebaik rupanya dan terlalu manja, kemana-mana minta ditemanin, emang aku pengawalnya apa? Genap 3 bulan, aku putus dengan Lia. Kemudian aku kembali mencari kesibukan lain di kampus, salah satunya dengan masuk organisasi. Ingin coba-coba, aku masuk FSKI (Forum Studi Kedokteran Islam). Sebenarnya aku anti sekali dengan organisasi-organisasi seperti ini, tapi mencoba kan ngak ada salahnya. Iya kan?
Beberapa minggu aku bergabung dengan FSKI, benar-benar membuatku binggung. Namun ada satu alasan yang membuatku bertahan, yaitu Haniifah, cewek berjilbab rapi dengan pakaiannya yang longgar, tidak seperti Lia cewekku dulu, namun herannya Haniifah tetap manis dan cantik walaupun seluruh tubuhnya tertutup rapi. Aku tak tau, apa yang membuatnya begitu manis. Karena itu setiap acara FSKI pasti aku datang, paling tidak melihat wajah dan senyumnya saja sudah cukup. Dan ajaibnya sekarang aku sudah mulai kuliah dengan rajin, walau hanya demi Haniifah. Haniifah selalu duduk di depan ketika kuliah, itu memotivasiku untuk duduk di depan juga ketika kuliah. Aku yakin, Haniifah pasti tak tahu kalau aku memperhatikannya. Kenal denganku pun, aku tak yakin. Dia selalu menunduk ketika mata kami tak sengaja beradu. Matanya begitu indah.
Lama-kelamaan seiring aktifnya aku di FSKI, Haniffah mulai mengenalku. Walaupun percakapanku dengannya masih sangat kaku. Memang berbicara dengan dia tidak sama dengan berbicara dengan wanita-wanita yang pernah ku kenal. Karena begitu sering bertemu, melihat dan memandangnya, sudah muncul rasa cinta ku yang besar kepadanya. Dan pada hari ini, aku berniat untuk “menembaknya” dan memintanya menjadi pacarku. Namun aneh sekali, dia malah lari. Dan beberapa hari setelah itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Sikapnya padaku juga berubah. Ketika bertemu dia selalu menghindar dariku, aku merasa dia menjauhiku. Hal itu membuatku kembali tidak fokus pada kuliahku. Aku benar-benar merasa ini adalah cinta ku yang paling tulus, perasaan ini kurasakan sangat berbeda dengan perasaan-perasaan cinta yang pernah kurasakan. Namun kenapa dia malah menjauhiku? Membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Sore ini, FSKI mengadakan acara Tasqif, aku hadir dalam acara tersebut dengan berharap aku bisa melihat Haniifah. Tasqif adalah semacam ceramah agama, yang diadakan dalam suatu ruangan. Namun sayang, apa yang kuharapkan tak kudapatkan. Aku hampir saja meninggalkan tempat dudukku ketika ku dengar MC menyebutkan tema Tasqif pada hari ini adalah tentang CINTA. Kursi yang sudah kugeser kebelakang, pelan-pelan kutarik lagi ketempat semula. Aku pun mulai mendengarkan dan menghayati acara tasqif pada hari ini.
Sepulang acara tasqif kemarin, aku sadar bahwa cinta yang sesungguhnya adalah cinta kepada Allah dan pacaran itu tidak ada di dalam islam. Sekarang aku mengerti mengapa sikap Haniifah berubah padaku. Dan sekarang aku bertekat untuk belajar sungguh-sungguh agar bisa cepat menjadi dokter dan membahagiakan ayahku. Malam itu aku berniat untuk menelepon ayah dan meminta maaf atas segala sikap serta kesalahanku selama ini. Aku sadar, selama ini aku sangat jauh sekali dari agama, sampai-sampai aku tidak tau bagaimana islam sangat memuliakan orang tua.
Tanganku mulai menggapai HP, namun tiba-tiba HPku berdering. Ada tulisan “ayah” dilayarnya. Dengan senang ku pencet salah satu tombol di HPku dan meletakkan HP itu di telinga kananku.
“Assalamu’alaikum yah”, kataku mengucap salam. Namun suara diseberang sana bukan suara ayahku, itu adalah suara paman, adik ayahku. “Ada apa paman, kok nelepon dari HP ayah?”, tanyaku penasaran, namun langsung ku sambung dengan pernyataan lain. ”Waduh kebetulan sekali paman nelpon, aku sebenarnya juga mau nelpon”, sambungku lagi. Pamanku yang diseberang sana masih tanpa suara. “Oh ya paman,ayah mana? Ada yang mau ku omongin sama ayah, aku mau bilang aku dapat nilai A untuk blok ini, pasti ayah senang. Ayah masih di toko ya paman?”, tanya ku lagi, karena paman masih saja belum menjawab pertanyaan-pertanyaanku.
“Ndi, ayahmu udah pulang”, kata paman datar.
“Ya udah, baguslah Paman. Tolong berikan HPnya ke ayah sebentar Paman, pasti ayah senang mendengar berita dari Randi”, kembali ku ulang permintaanku kepada paman.
“Ndi, ayahmu …”, tiba-tiba perkataan paman terhenti, seperti ada sesuatu yang mencekik lehernya.
“Ada apa paman?”, tanyaku tambah tak mengerti.
“Ayahmu sudah tiada Ndi. Kamu yang tabah ya….”, kata paman mulai menenangkanku.
Perkataan paman, seperti petir dan guruh yang menggelegar di telingaku. Aku benar-benar terkejut dan shok berat. Tanganku gemetar, leherku terasa terjerat dan mulutku kaku, namun kupaksakan untuk bericara. Dan tak sadar, air mata sudah mengenang di pipiku.
“Ayah kenapa paman, sakit apa? Setahu Randi ayah sehat-sehat saja?”, tanyaku tak percaya.
“Memang kelihatannya ayahmu sehat-sehat saja, tapi sebenarnya ayahmu punya penyakit jantung. Karena itulah dia selalu memintamu untuk menjadi seorang dokter”.
Mendengar perkataan paman tadi, aku merasa sangat menyesal, mengapa dulu aku susah sekali untuk di suruh masuk kedokteraan, mengapa aku dulu malas-malasan dalam belajar. Sekarang ketika aku mau minta maaf dan ketika aku ingin memberi tahu nilai ku yang bagus, ayah telah pergi untuk selamanya. Memang, penyesalan selalu datang belakangan. Apa mau dikata semuanya telah terjadi.
2,5 tahun kemudian aku bergelar Sarjana Kedokteran. 1 tahun setelah itu aku sudah menjadi seorang dokter. Dan sekarang aku sudah punya satu orang anak dan seorang istri yang solehah serta cantik, dia adalah Haniifah. Sekarang aku tau, sebenarnya ayah memintaku menjadi seorang dokter adalah untuk kebaikkanku dan agar aku bisa menolong orang-orang yang membutuhkan pertolonganku supaya tidak bernasib sama seperti ayah. Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan kumpulkanlah kami kembali di surgamu.
Lamunanku buyar, ketika seorang bapak-bapak tua yang dipapah oleh anaknya masuk kepekarangan rumahku dan menuju tempat praktekku. Aku berniat dalam hati, akan menjalankan profesi dokter ini dengan ikhlas karena Allah dan mudah-mudahan aku mendapatkan Kebahagian Dunia dan Akhirat begitu juga dengan ayahku, amin.
Di seberang jalan persis di depan tempat praktekku, seorang bapak-bapak sedang menggandeng anaknya yang berumur lebih kurang 5 tahun, itu menurut prediksiku. Anak yang masih menggunakan seragam Taman Kanak-kanak dengan menyandang sebuah botol minuman itu kelihatan seperti sedang berbincang-bincang dengan ayahnya. Ketika mereka berjalan semakin mendekat ke tempatku, akupun tak segaja menguping pembicaraan mereka.
“Jov, tadi di sekolah belajar apa?”, tanya ayah anak tersebut sambil mengusap kepala si anak dengan lembut dan penuh kasih sayang.
“Tadi Jovey belajar mengambar dan mewarnai, Yah”, jawab anak tersebut yang ternyata bernama Jovey.
“Gimana, kamu bisa nak?”, tanya ayah si anak lagi.
“Tentu dong Yah, aku kan anak pintar”, jawab Jovey semangat sambil menunjuk kepalanya yang sebelah kanan.
“Bagus nak, bagus. Kamu harus belajar yang rajin, agar besok bisa jadi orang besar. Biarlah ayah yang susah seperti ini, yang penting kamu bisa sekolah dan mencapai cita-cita mu. Ayah ingin kalau kamu besar nanti, kamu bisa jadi dokter. Supaya kalau ayah sakit, kamu bisa obati ayah dan kita tidak perlu keluar banyak uang lagi”, ujar ayah Jovey.
Aku tak yakin, apakah Jovey kecil mengerti apa maksud perkataan-perkataan ayahnya tersebut. Kulihat, ayah Jovey sangat berharap sekali Jovey dewasa akan menjadi seorang dokter, ya dokter sepertiku. Jovey kecil dan ayahnya sudah mulai menjauh dari tempatku, namun sayup-sayup masih kudengar Jovey menjawab dengan semagat dan keluguannya,”Baik, ayah. Besok kalau Jovey sudah besar, Jovey akan jadi dokter. Dan kalau ayah sakit, ayah tidak usah berobat mahal-mahal lagi, Jovey akan mengobati ayah sampai sembuh.” Kemudian suara Jovey kecil semakin menjauh dan tak terdengar lagi. Walaupun kedua anak dan bapak itu sudah berjalan jauh meninggalkan tempat praktekku, namun percakapan yang tak sengajaku dengar itu melemparkan aku kembali ke 25 tahun yang lalu. Aku dan ayahkupun pernah berbincang-bincang seperti itu ketika aku dibonceng dengan sepeda sepulang dari sekolah. Walaupun ayahku hanya seorang pedagang kecil, namun ayah selalu menyisihkan waktunya untuk menjemputku. Dia rela menutup toko kecilnya demi ingin menjemputku. Bahkan pedagang-pedangan yang lain pernah menyindir ayahku, “Man, kamu niat jualan ngak sih! Bentar tutup, bentar buka. Kalau ngak niat, tutup aja tuh toko”. Begitulah kira-kira perkataan pedangang-pedangang yang berjualan didekat toko ayahku. Ya, begitulah ayahku selalu mementingkan kepentingan anaknya dari pada kepentingan dirinya sendiri.
Kami sering sekali bercerita, bercerita seperti Jovey dan ayahnya tadi. Pada saat itu, ayah selalu membelikan apa yang aku minta, dia selalu bilang,”Randi, kamu harus belajar yang rajin, supaya jadi orang pintar dan bisa jadi dokter. Kalau Randi sudah jadi dokter, Randi bisa mengobati ayah kalau ayah sakit dan bisa beli apa yang Randi mau”. Itulah yang selalu ayahku katakan padaku. Sehingga ketika guru Bahasa Indonesia kelas 1 SD ku bertanya tentang cita-cita, aku dengan PDnya menjawab ingin menjadi dokter. Ketika itu, aku belum tau apa itu sebenarnya cita-cita dan apa sebenarnya pekerjaan dokter itu, yang aku tahu kalau aku jadi dokter, aku bisa beli semua yang aku mau, hanya itu. Cita-citaku jadi dokter tak bertahan lama, ketika aku duduk di kelas 4 SD, aku bercita-cita ingin jadi tentara, karena kebanyakkan temanku bercita-cita menjadi seorang tentara. Itupun tak bertahan lama. Saat aku duduk di kelas 2 SMP, aku bercita-cita ingin menjadi pilot. Sampai akhirnya ketika aku duduk di kelas 3 SMA, semuanya telah berubah, aku tak seperti Randi kecil lagi yang selalu patuh pada perkataan ayahku. Sekarang aku lebih suka mendengar kata teman-temanku dari pada perkataan orang tua ku. Seiring dengan waktu, usia ayahku pun mulai beranjak tua.
Otot-ototnya yang dulu kekar, sekarang sudah mulai kendor. Tulang-tulangnya yang dulu kuat dan selalu mengendongku, sekarang mulai lemah. Sekarang umurku 18 tahun, sudah 13 tahun percakapan-percakapan hangat ku dan ayah tentang cita-citaku menjadi seorang dokter berlalu. Aku sudah lama lupa akan percakapan itu, namun tak kusangka ayah masih sangat mengingat percakapan antara dia dan si Randi kecil.
Besok adalah hari pengumunan kelulusan ku di SMA. Aku sudah mempersiapkan diriku untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun bukan ke Kedokteraan. Aku sudah berencana untuk melanjutkan pendidikanku ke Teknik Informatika ITB, karena aku sangat tergila-gila pada dunia komputer dan software. Malam harinya, ayah kembali bertanya kepadaku tentang keputusanku dan kembali berusaha untuk menyakinkanku agar mau melanjutkan pendidikanku ke Fakultas Kedokteraan UNAND.
“Ndi, percayalah pada ayah. Menjadi dokter lebih baik dari pada menjadi Sarjana Teknik. Mau jadi apa kamu nanti? Lebih baik jadi dokter, lebih jelas kerjanya dan kita ngak terikat. Kamu juga bisa buat tempat praktek sendiri.” Ayahku berusaha keras untuk meyakinkanku, itu terlihat jelas dari mimik mukanya yang menyimpan harapan besar agar aku menjadi seorang dokter.
“Tapi yah, Randi ngak suka Biologi dan lagi pula di Kedokteran itu bukunya tebal-tebal”, jawabku keras namun ku tetap berusaha untuk menjaga kesopanku. Aku tau betapa sebenarnya ayahku menginginkan aku menjadi seorang dokter. Aku tak tau alasan pasti ayah, namun salah satu alasannya yang kuingat dalam percakapan masa kecilku dengan ayah adalah agar aku bisa mengobati ayah kalau ayah sakit dan kita tidak perlu keluar uang banyak. Emangnya sakit apa sih ayah, palingan cuma flu atau demam biasa aja, kan bisa berobat ke puskesmas tanpa bayar, gumamku dalam hati.
Beberapa hari kemudian, ketika aku sudah dinyatakan lulus dengan nilai yang memuaskan, ayah terus berusaha membuatku mengubah pikiran dan mau masuk ke Fakultas Kedokteran UNAND. Memang perbuatan ayahku tidak bisa dibilang memaksa, namun dari mimik dan ekspersinya, aku tahu sebenarnya ini adalah paksaan. Sekarang aku tahu satu lagi alasan ayah mengapa menyuruhku menjadi seorang dokter. Malam itu, ayah bercerita tentang proses kelahiranku. Saat melahirkanku, ibuku dalam keadaan yang sangat gawat, nyawanya dipertaruhkan. Aku memang lahir dengan cara normal, namun ada kesalahkan dengan jahitan pada vagina ibuku. Dokter yang menolong persalinan ku, lupa menjahit bagian dalam vagina ibuku, sehingga darah ibu tetap mengucur dengan deras sampai ibuku kehilangan banyak darah dan di kirim ke RS.Ahmad Muchtar Bukittinggi. Kami yang berdomisili di Payakumbuh jarang sekali berkunjung ke RS.Ahmad Muchtar Bukitting begitu juga ayahku. Hal ini membuat ayah tidak familiar dengan jalan masuk dan keluar Rumah Sakit. Saat itu malam hari, dokter berkata bahwa ibuku butuh 7 kantong darah, ayah sangat binggung dan panik kemana ia harus mencari 7 kantong darah malam-malam begini, sampai-sampai dia tidak tahu lagi dimana pintu masuk dan keluar Rumah Sakit tersebut. Orang yang dikenalpun tidak ada, tiba-tiba ada seorang mahasiswa kedokteran yang sedang KoAss menolong ayahku. Sejak saat itu, ayah ingin sekali kalau aku menjadi seorang dokter. Begitulah kira-kira cerita ayahku.
Cerita semalam, mulai sedikit bisa merubah pendirianku, walau tak 100% berubah. Akhirnya dengan sedikit terpaksa aku mengambil kedokteraan UNAND pada pilihan pertama di blangko SPMBku.
Sekarang hari Senin, hari dimana pengumuman kelulusan SPMB akan dimuat disemua surat kabar secara serentak. Sayang, aku tidak begitu antusias untuk melihatnya. Aku tak tahu kenapa. Namun, tiba-tiba pintu rumahku terbuka. Ada seseorang yang mengucapkan salam di luar sana, dan aku yakin itu adalah suara ayahku. Sambil sedikit berlari, ayah masuk dengan wajah sangat cerah. Kelihatan sekali dari mulutnya yang tersenyum lebar. Ditanganya kulihat ada sebuah koran, ya tepatnya koran yang berisi pengumuman SPMB.
“Ndi, kamu lulus nak. Kamu lulus di kedokteraan?”, ayah semangat sekali menyampaikannya padaku. Sebenarnya aku sedikit tidak bahagia, namun ku paksakan wajahku tersenyum.
“Iya, yah”, jawab ku singkat. Kulihat gurat kebahagian jelas tersirat di wajah ayahku, dan sepintas kulihat matanya berkaca-kaca. Baru kali ini kulihat ayah sebahagia ini.
“Kamu belajar saja yang rajin, soal biaya jangan kamu pikirkan biar ayah dan ibumu yang urus”, ayah kembali berkata sambil mengusap punggungku, walau ku tau sebenarnya sulit bagi kedua orang tuaku untuk menggumpulkan uang sebanyak itu.
Sudah 2 bulan aku belajar dan menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteraan Universitas Andalas ini. Namun, aku masih merasa terpaksa belajar di sini. Aku berusaha mencari kegiatan yang membuatku nyaman dan betah ke kampus. Pertama yang terpikir olehku adalah dengan mencari pacar, ya dengan pacaran kita punya motivasi untuk ke kampus. Aku sudah memiliki target seorang cewek yang lumayan cantik, kulitnya putih dan kelihatannya anak orang kaya. Jangan heran kalau aku bisa mendapatkan cewek yang cantik, karena akupun tak kalah tampannya, kulitku putih bersih dan aku adalah orang yang rapi.
Cara pertamaku lumayan berhasil, cara ini membuat aku rajin kekampus walaupun bukan untuk kuliah. Beberapa minggu berjalan dengan cewek baruku yang bernama Lia, aku sudah mulai bosan. Ternyata dia tidak sebaik rupanya dan terlalu manja, kemana-mana minta ditemanin, emang aku pengawalnya apa? Genap 3 bulan, aku putus dengan Lia. Kemudian aku kembali mencari kesibukan lain di kampus, salah satunya dengan masuk organisasi. Ingin coba-coba, aku masuk FSKI (Forum Studi Kedokteran Islam). Sebenarnya aku anti sekali dengan organisasi-organisasi seperti ini, tapi mencoba kan ngak ada salahnya. Iya kan?
Beberapa minggu aku bergabung dengan FSKI, benar-benar membuatku binggung. Namun ada satu alasan yang membuatku bertahan, yaitu Haniifah, cewek berjilbab rapi dengan pakaiannya yang longgar, tidak seperti Lia cewekku dulu, namun herannya Haniifah tetap manis dan cantik walaupun seluruh tubuhnya tertutup rapi. Aku tak tau, apa yang membuatnya begitu manis. Karena itu setiap acara FSKI pasti aku datang, paling tidak melihat wajah dan senyumnya saja sudah cukup. Dan ajaibnya sekarang aku sudah mulai kuliah dengan rajin, walau hanya demi Haniifah. Haniifah selalu duduk di depan ketika kuliah, itu memotivasiku untuk duduk di depan juga ketika kuliah. Aku yakin, Haniifah pasti tak tahu kalau aku memperhatikannya. Kenal denganku pun, aku tak yakin. Dia selalu menunduk ketika mata kami tak sengaja beradu. Matanya begitu indah.
Lama-kelamaan seiring aktifnya aku di FSKI, Haniffah mulai mengenalku. Walaupun percakapanku dengannya masih sangat kaku. Memang berbicara dengan dia tidak sama dengan berbicara dengan wanita-wanita yang pernah ku kenal. Karena begitu sering bertemu, melihat dan memandangnya, sudah muncul rasa cinta ku yang besar kepadanya. Dan pada hari ini, aku berniat untuk “menembaknya” dan memintanya menjadi pacarku. Namun aneh sekali, dia malah lari. Dan beberapa hari setelah itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Sikapnya padaku juga berubah. Ketika bertemu dia selalu menghindar dariku, aku merasa dia menjauhiku. Hal itu membuatku kembali tidak fokus pada kuliahku. Aku benar-benar merasa ini adalah cinta ku yang paling tulus, perasaan ini kurasakan sangat berbeda dengan perasaan-perasaan cinta yang pernah kurasakan. Namun kenapa dia malah menjauhiku? Membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Sore ini, FSKI mengadakan acara Tasqif, aku hadir dalam acara tersebut dengan berharap aku bisa melihat Haniifah. Tasqif adalah semacam ceramah agama, yang diadakan dalam suatu ruangan. Namun sayang, apa yang kuharapkan tak kudapatkan. Aku hampir saja meninggalkan tempat dudukku ketika ku dengar MC menyebutkan tema Tasqif pada hari ini adalah tentang CINTA. Kursi yang sudah kugeser kebelakang, pelan-pelan kutarik lagi ketempat semula. Aku pun mulai mendengarkan dan menghayati acara tasqif pada hari ini.
Sepulang acara tasqif kemarin, aku sadar bahwa cinta yang sesungguhnya adalah cinta kepada Allah dan pacaran itu tidak ada di dalam islam. Sekarang aku mengerti mengapa sikap Haniifah berubah padaku. Dan sekarang aku bertekat untuk belajar sungguh-sungguh agar bisa cepat menjadi dokter dan membahagiakan ayahku. Malam itu aku berniat untuk menelepon ayah dan meminta maaf atas segala sikap serta kesalahanku selama ini. Aku sadar, selama ini aku sangat jauh sekali dari agama, sampai-sampai aku tidak tau bagaimana islam sangat memuliakan orang tua.
Tanganku mulai menggapai HP, namun tiba-tiba HPku berdering. Ada tulisan “ayah” dilayarnya. Dengan senang ku pencet salah satu tombol di HPku dan meletakkan HP itu di telinga kananku.
“Assalamu’alaikum yah”, kataku mengucap salam. Namun suara diseberang sana bukan suara ayahku, itu adalah suara paman, adik ayahku. “Ada apa paman, kok nelepon dari HP ayah?”, tanyaku penasaran, namun langsung ku sambung dengan pernyataan lain. ”Waduh kebetulan sekali paman nelpon, aku sebenarnya juga mau nelpon”, sambungku lagi. Pamanku yang diseberang sana masih tanpa suara. “Oh ya paman,ayah mana? Ada yang mau ku omongin sama ayah, aku mau bilang aku dapat nilai A untuk blok ini, pasti ayah senang. Ayah masih di toko ya paman?”, tanya ku lagi, karena paman masih saja belum menjawab pertanyaan-pertanyaanku.
“Ndi, ayahmu udah pulang”, kata paman datar.
“Ya udah, baguslah Paman. Tolong berikan HPnya ke ayah sebentar Paman, pasti ayah senang mendengar berita dari Randi”, kembali ku ulang permintaanku kepada paman.
“Ndi, ayahmu …”, tiba-tiba perkataan paman terhenti, seperti ada sesuatu yang mencekik lehernya.
“Ada apa paman?”, tanyaku tambah tak mengerti.
“Ayahmu sudah tiada Ndi. Kamu yang tabah ya….”, kata paman mulai menenangkanku.
Perkataan paman, seperti petir dan guruh yang menggelegar di telingaku. Aku benar-benar terkejut dan shok berat. Tanganku gemetar, leherku terasa terjerat dan mulutku kaku, namun kupaksakan untuk bericara. Dan tak sadar, air mata sudah mengenang di pipiku.
“Ayah kenapa paman, sakit apa? Setahu Randi ayah sehat-sehat saja?”, tanyaku tak percaya.
“Memang kelihatannya ayahmu sehat-sehat saja, tapi sebenarnya ayahmu punya penyakit jantung. Karena itulah dia selalu memintamu untuk menjadi seorang dokter”.
Mendengar perkataan paman tadi, aku merasa sangat menyesal, mengapa dulu aku susah sekali untuk di suruh masuk kedokteraan, mengapa aku dulu malas-malasan dalam belajar. Sekarang ketika aku mau minta maaf dan ketika aku ingin memberi tahu nilai ku yang bagus, ayah telah pergi untuk selamanya. Memang, penyesalan selalu datang belakangan. Apa mau dikata semuanya telah terjadi.
2,5 tahun kemudian aku bergelar Sarjana Kedokteran. 1 tahun setelah itu aku sudah menjadi seorang dokter. Dan sekarang aku sudah punya satu orang anak dan seorang istri yang solehah serta cantik, dia adalah Haniifah. Sekarang aku tau, sebenarnya ayah memintaku menjadi seorang dokter adalah untuk kebaikkanku dan agar aku bisa menolong orang-orang yang membutuhkan pertolonganku supaya tidak bernasib sama seperti ayah. Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan kumpulkanlah kami kembali di surgamu.
Lamunanku buyar, ketika seorang bapak-bapak tua yang dipapah oleh anaknya masuk kepekarangan rumahku dan menuju tempat praktekku. Aku berniat dalam hati, akan menjalankan profesi dokter ini dengan ikhlas karena Allah dan mudah-mudahan aku mendapatkan Kebahagian Dunia dan Akhirat begitu juga dengan ayahku, amin.
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al Maidah [5] : 32).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar