Belum lama ini, tepatnya tanggal 20 Mei, kita semua rakyat Indonesia merayakan suatu hari yang amat bersejarah, awal lahirnya rasa kebangsaan di tanah air ini, HARI KEBANGKITAN NASIONAL. Atas prakarsa dr. Wahidin Sudirohusodo sebuah organisasi nasional lahir dari Mahasiswa Kedokteran Stovia. Mahasiswa mulai membuat pembaharuan dan memainkan perannya sebagai agent of change.
Mahasiswa adalah sebuah masa pematangan menuju otoritas pola hidup yang baru. Fenomena pun beranjak dari putih abu-abu yang idealis, pemimpi dan penuh hura-hura menjadi seseorang yang bertanggung jawab memegang peranan sebagai ikon agent of change sebuah bangsa. Tak banyak yang bisa sadar dan berlakon dengan baik terhadap peran yang disandangnya. Banyak mahasiswa yang memunculkan lakon-lakon baru untuk mengantikan tugas sesungguhnya. Mereka memulai untuk membuat definisi-definisi baru untuk kata “mahasiswa”. Ada yang berkata bahwa mahasiswa adalah golongan kaum elit yang biasanya berpenampilan “wah” atau “parlente” dengan kendaraan yang “wah” pula. Dan ada pula yang beranggapan bahwa mahasiswa adalah diatas segala-galanya. Mereka mengartikan kata “mahasiswa” tersebut menjadi “maha” dan “siswa” yaitu siswa yang paling tinggi. Mungkin 2 penyataan di atas tidak ada salahnya. Kalau kita lihat realita yang terjadi sekarang, kurang lebih begitulah gambarannya, mahasiswa sudah berubah peran menjadi agent of chance, dimana ada kesempatan, disana mereka masuk dan menyeruak. Namun, ketika kesempatan telah tertutup, mereka hilang entah kemana. Dimana tanggung jawab seorang mahasiswa yang berpikir secara logika dan mendahulukan kepentingan bangsa? Merujuk kepada sebuah puisi yang berbunyi, mahasiswa takut kepada dosen, dosen takut kepada dekan, dekan takut kepada rektor, rektor takut kepada mentri, mentri takut kepada presiden, presiden takut kepada mahasiswa. Ya, begitulah kira-kira isi dari puisi tersebut yang berarti bahwa mahasiswa bisa berbuat apa saja dan memiliki kekuasaan di atas penguasa bangsa.
Dan hal itupun telah dilakukan oleh mahasiswa, yang merubah bentuk pemerintahan Indonesia ini yaitu merubuhkan tonggak kekuasaan orde baru pada tahun 1998. Ya, itulah hebatnya seorang mahasiswa. Dia bisa berbuat apa saja, bahkan menjatuhkan kedudukan seseorang yang berkuasa di suatu negara. Saking hebat dan berkuasanya, banyak mahasiswa yang kebablasan dengan perannya tersebut. Menyalah gunakan gelar “mahasiswa” yang disandangnya demi kepentingan segelintir oknum. Sebagian mahasiswa lebih memilih menjadi agent of chance, memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kesejahteraan diri, bukan bangsa lagi. Ironis memang, tapi itulah yang terjadi di negeri ini. Jika dulu pemuda itu satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa, maka sekarang pemuda itu satu rupiah”. Artinya, dipersatukan oleh rupiah untuk melakukan suatu tindakan.
Namun, tak semua mahasiswa zaman ini yang bermetamorfosis. Masih ada mahasiswa yang setia dengan tanggung jawabnya dan bangga membintangi lakon sebagai agent of change. Siapakah dia? Dia adalah kita. Dari berjuta-juta mahasiswa yang ada di Indonesia, kalau saja hanya 1 juta yang tetap setia dengan peran itu, maka dalam 1 juta mahasiswa tersebut adalah kita. Ketika hari berganti bulan, bulan pun telah berganti tahun, 1 juta mahasiswa pun tak bisa dipertahankan untuk menempati peran tersebut. Maka ketika hanya 100 orang yang masih betah dengan peran itu, maka salah satu dari 100 orang itu adalah kita. Akhirnya musim pun berganti, tinggal 10 mahasiswa yang tetap bertahan memegang teguh amanahnya sebagai ikon agent of change, dan yakinlah 1 dari 10 orang itu adalah kita. Saat dunia semakin membabi buta dan kekuasaan mulai meraja lela, saat pikiran dan hati nurani bisa dibutakan dengan harta, kita temui hanya 1 orang mahasiswa yang masih bertahan mengusung peran yang sudah mulai tua dan renta. Kita masih bisa tersenyum, karena yang 1 orang itu adalah kita. HIDUP MAHASISWA !!!
Padang, 26 Mei 2009
Priska Natalia (07120015)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
sungguh dalam makna dari kata2 saudari...
BalasHapussemoga km diredhoi Allah...